SANGGAR SENI CUPIDO

Tempat Orang-Orang Berkreasi dan Berprestasi

Sanggar Seni Cupido


Sanggar Seni Cupido SMAN 1 Sumberjaya Lampung Barat merupakan wadah bagi siswa-siswi SMAN 1 Sumberjaya untuk mengembangkan bakat dan minatnya di bidang seni. Sebelum menjadi sanggar seni ekstrakurikuler ini hanya sebuah kelompok teater di SMA N 1 Sumberjaya yang sudah ada sejak tahun 2000. Karena minat dan berkembangnya kebutuhan ekspresi siswa maka didirikanlah Ektrakurikuler Sanggar Seni pada 12  September 2005 dengan 3 divisi di dalamnya yaitu: Divisi Teater, Sastra dan Film,    Divisi Musik, Divisi Tari

Selain latihan rutin yang dilakukan masing-masing divisi, kegiatan festival dan lomba telah banyak diikuti dan meraih prestasi yang cukup membanggakan baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.

Dengan semangat BERANGKAT DARI APA YANG ADA sanggar seni cupido terus menggali potensi dan mencipta karya yang berkualitas walaupun keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Karena proses mencipta tidak boleh terhenti hanya karena sebuah keterbatasan.

Sudah banyak prestasi yang mereka torehkan. Sejak pertama kalinya kegiatan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) dilaksanakan pada tahun 2008 di Bandung, Jawa Barat, akhirnya SMAN 1 Sumberjaya , Kabupaten Lampung Barat yang mewakili Propinsi Lampung meraih prestasi yang membanggakan , bertengger di peringkat ke-2 melalui Lomba Cabang Seni , yaitu Seni Pertunjukan Teater/Drama melalui drama yang berjudul "Jual Bendera". 

Lomba berlangsung di RRI Semarang dan SMAN 1 Sumberjaya mendapat urutan tampil ke 19 , untuk Teater/Drama Lomba berlangsung selama dua hari, untuk Juara I dari Propinsi Jawa Barat , Lampung Juara II yang diwakili SMAN 1 Sumber Jaya dan Juara III Propinsi Riau. Ini tentu membanggakan tidak hanya untuk Kabupaten Lampung Barat , tapi juga untuk Propinsi Lampung. 

Tim drama SMAN 1 Sumberjaya yang tergabung dalam Teater CUPIDO SMAN 1 Sumberjaya,Tahun 2014 ini setelah sebelumnya melalui seleksi di tingkat kabupaten dan melalui seleksi tingkat provinsi, dalam 7 tahun ini teater cupido bukan tanpa predikat, namun belum pernah masuk 3 besar dan tahun ini secara gemilang bisa meraih predikat II di ajang bergengsi siswa tingkat nasional ini . Adalah Ahmad Jusmar, seorang sutradara handal sekaligus penata artistik, stage manager dan merangkap penata rias dari setiap penampilan cupido, seorang pengajar di SMAN 1 Sumberjaya, dialah aktor dibalik keberhasilan CUPIDO. 

FLS2N 2014 dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di Marina Convention Center (MCC) Area Pantai Marina Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/6/2014) malam. Festival tahunan ini sebagai ruang kreativitas sekaligus mewadahi kegiatan seni dan sastra untuk mengangkat potensi siswa. Peserta FLS2N merupakan siswa-siswi terbaik perwakilan provinsi. Mereka telah menjalani seleksi ketat di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, dan Provinsi. 


READMORE
 

Karya

Beberapa Karya Sanggar Cupido diantaranya :

Karya FILM :

1. Film "ANGIN DARI BARAT"
   dibuat pada tahun 2006

silahkan Download Disini : (Link nya Belum di upload)


2. Film "MERAIH IMPIAN"
dibuat pada Tahun 2012, Film ini menceritakan tentang Rintisan Sekolah Gratis SMA

Silahkan Download Disini : (Linknya belum di upload)

Karya Musikalisasi yang sudah masuk dapur Rekaman :

Link Download menyusul

1. Bila Malam Bertambah Malam (BMBM)
2. Perempuan dibawah Hujan
3. Angin Dari Barat
4. Impian Sejati
5. Hujan Di Tanjung Karang
6. Asmara
7. Krawang Bekasi
8. Muhammad
9. Insan
10. Gugur
READMORE
 

Prestasi

Setelah sekian lama berkecimpung didunia Kesenian,Alhamdulillah banyak Prestasi yang diraih,
Kurang Lebih ini daftarnya.

Prestasi Divisi Teater :

1. JUARA II LIGA TEATER SMA SE PROVINSI LAMPUNG sekaligus meraih predikat Aktor Terbaik, Aktris Terbaik, Penata Setting Terbaik dan Penata Musik Terbaik, lewat pertunjukan PAGI BENING, tahun 2006

2. JUARA III FILM PENDEK PELAJAR SE POVINSI LAMPUNG,tahun 2007 Pementasan Teater Pada Kegiatan FESTIVAL KRAKATAU DAN LAMPUNGEXPO DI GRAHA WANGSA, tahun 2009

3. JUARA I LOMBA BACA PUISI PUTRA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2009

4. JUARA II LOMBA BACA PUISI PUTRI SE LAMPUNG BARAT, tahun 2009

5. 10 BESAR TEATER TERBAIK FESTIVAL LOMBA SENI SISWA NASIONAL (FLS2N) Surabaya, tahun 2010

6. 10 Besar Dalam Antologi Cerpen Terbaik Pelajar se Lampung, tahun 2011

7. JUARA I FRAGMEN SINGKAT FLS2N TINGKAT SMA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2012

8. JUARA I FRAGMEN SINGKAT FLS2N TINGKAT SMA SE PROVINSI LAMPUNG, tahun 2012

9. UTUSAN PROVINSI LAMPUNG PADA FLS2N TINGKAT NASIONAL DI LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT, tahun 2012

10.JUARA II FESTIVAL TEATER SLTA SE PROVINSI LAMPUNG “Student on The Stage” Sekaligus meraih predikat, Penata Rias dan Kostum Terbaik, Poster Terbaik, Penata Tema Lagu Teater Terbaik, Lewat Pertunjukan Bila Malam Bertambah malam karya Putu Wijaya, Taman Budaya Lampung tahun 2012


Prestasi DIVISI TARI Sanggar Seni Cupido :

1. JUARA HARAPAN TARI KREASI LAMPUNG TINGKAT SMA SE PROVINSI LAMPUNG, tahun 2005

2. JUARA III TARI SIGEH PANGUNTEN MKKS CUP SMA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2005

3.JUARA I LOMBA TARI KREASI TINGKAT SMA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2006

4. JUARA II LOMBA TARI KREASI LAMPUNG FESTIVAL TELUK STABAS SE LAMPUNG BARAT, tahun 2011

Prestasi Divisi Musik :

1. 10 Besar Band Terbaik Pelajar se Provinsi Lampung, Tahun 2005

2. JUARA II SOLO SONG PUTRI MKKS CUP SMA SE LAMPUNG BARAT, Tahun 2005

2. PENGISI ACARA PADA PAGELARAN SENI PELAJAR PANGGUNG HIBURAN RAKYAT di PKOR WAY HALIM, tahun 2006, 2007

3.JUARA I MUSIKALISASI PUISI TINGKAT SMA SE POVINSI LAMPUNG, tahun 2009

4. Diundang Mengisi Acara Musikalisasi Puisi pada Kegiatan FESTIVAL KRAKATAU dan
5. LAMPUNG EXPO di Graha Wangsa, tahun 2009

6. Diundang Mengisi Acara Musikalisasi Puisi pada Kegiatan Malam akhir Tahun di Menara Siger Lampung, tahun 2009

7. JUARA II SOLO SONG PUTRI MKKS CUP SMA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2009

8. JUARA I SOLO SONG PUTRI MKKS CUP SMA SE LAMPUNG BARAT, tahun 2010

9. JUARA II MUSIKALISASI PUISI TINGKAT SMA SE PROVINSI LAMPUNG, tahun 2011

10. JUARA I MUSIKALISASI PUISI TINGKAT SMA SE PROVINSI LAMPUNG, tahun 2012

11. JUARA III MUSIKALISASI PUISI TIGKAT SMA SE SUMATERA, tahun 2012
READMORE
 

Agenda


MARET 2013

Pementasan Refleksi 47 Tahun HUT Provinsi Lampung pada Sidang Paripurna di Gedung DPRD Provinsi Lampung.

APRIL 2013
Seleksi FLS2N Tingkat Kabupaten Lampung Barat untuk Cipta Puisi,Baca Puisi,Drama Singkat dan Solo Song.

MEI 2013
Pertunjukan Teater Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya sutradara Ahmad jusmar.Sebagai wakil Provinsi Lampung di Ajang Festival Teater Pelajar Nasional di Bandung.Festival Musikalisasi Puisi Tingkat SLTA se Provinsi Lampung di Kantor Bahasa.

AGUSTUS 2013
Pertunjukan Kabaret Perjuangan Reffleksi 68 tahun Indonesia Merdeka di SMAN 1 Sumberjaya

SEPTEMBER 2013
Mengadakan Workshop teater pelajar SMA se Lampung Barat kerjasama dengan Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Dinas Pendidikan Kab. Lampung Barat.

Mengikuti Festival Teater Pelajar SLTA se Provinsi Lampung“student on the stage 2” di Taman Budaya Lampung.

OKTOBER 2013
Mengikuti Lomba Baca Cerpen di Kantor Bahasa Provinsi Lampung
READMORE
 

KUCING HITAM

Karya : Edgar Allan Poe

DALAM SEBUAH SEL, DUDUK SEORANG SETENGAH BAYA. IA NAMPAK MURUNG. WAJAHNYA MISTERIUS, GARIS-GARIS WAJAHNYA DIPERTAJAM OLEH PENDERITAAN BATIN YANG BERAT. SUASANA SANGAT SEPI. TIBA-TIBA IA BANGKIT MENGAMATI SEKITAR, LALU DUDUK LAGI.

Untuk cerita amat ajaib ini, yang terjadi dalam rumahku dan hendak kami paparkan, sama sekali aku tidak mengharap bahwa orang-orang akan percaya. Gila rasanya mengharap begitu, dimana aku sendiri tidak percaya dengan indraku sendir. Namun gila pun aku tidak sama sekali aku tidak bermimpi. Tapi besok, besok aku akan mati, maka sekarang harus kubuang beban yang menghimpit jiwaku ini. Tak ada keinginanku untuk memaparkan pada dunia serangkaian peristiwa dirumah secara sederhana dan pendek, tanpa dibumbui.

Oleh akibat-akibatya, peristiwa itu telah mengejutkan hati, menganiaya bahwa memusnahkan direiku. Namun aku tidak bermaksud menafsirkannya. Bagiku tak ada hasilnya kecuali kengerian. Bagi orang lain mungkin bukan mengerikan, tapi aneh. Nanti mungkin akan ada orang pandai yang akan berhasil menafsirkan keanehan ini sampai terasa biasa, seorang p-emikir yang lebih tenang, berakal, dan jauh kurang bingung daripada aku dalam menghadapi yang kututurkan tanpa senang hati ini. Barngkali dia tak akan melihat sesuatu pun selain rentetan sebab akibat yang sudah lumrah.

Sedari kecil aku terkenal suka meruntut dan berperikemanusiaan. Kelembutan hatiku ini amat kentara, hingga sering diolok-olok oleh teman-temanku.


Aku sangat menggemari bintang. Orang tuaku mengijinkanku memelihara pelbagai binatang di rumah, bersama merekalah ku habiskan sebagian waktuku. Aku tak pernah lebih bahagia kalau tidak memberi makan serta mengelus mereka. Tabiat ini tumbuh bersama umurku.


Maka sewaktu dewasa aku menyadari salah satu sumber terbesar kesalahanku. Pada siapa pernah menyayangi anjing yang setia lgi pintar, tak perlu aku terangkan betapa dalam dan mesra kepuasan yang kudapat dengan begitu. Dalam cinta binatang yang rela dan suka berkorban itu, ada sesuatu yang langsung merasuk ke hati seseorang yang kerapkali untuk menguji persahabatan kecil atau kesetiaan, yang hanya dihasilkan oleh manusia.


Aku kawin muda dan beruntung bahwa istriku punya kesamaan kesenangan. Sekali paham akan kesenanganku, ia pergunakan semua kesempatan untuk memberi piaraan yang indah-indah. Kami mempunyai burung, ikan mas, anjing yang manis, kelinci, monyet kecil dan seekor kucing. Yang terahir ini adalah hewan yang yang sangat besar dan lagi cantik, hitam sama sekali. Sedang kepintarannya mengagumkan. Mengenai kecerdasannya ini, istriku tak luput dari sedikit takhayul, sering mengingatakan pada mitos turun temurun yang yang menganggap kucing hitam sebagai juru tenung yang menyamar. Dia bukannya sungguh-sungguh percaya-aku sebut ini hanya oleh sebab pada saat ini aku ingat ihwalnya.


Pluto, demikian nama kucing itu-adalah teman bermainku yang paling aku saying, hanya aku yang memberinya makan. Diikutinya aku pergi. Di rumah, di halaman, bahkan dengan susah payah kucegah ia mengikutiku di jalanan. Dan itu terjadi selama bertahun-tahun. Selama ini kuakui dengan malu, perilakuku mengalami perubahan mendasar kearah buruk, disebabkan kegemaranku meminum-minuman keras.


Hari demi hari aku bertambah murung, lekas marah dan makin memperhatikan perasaan orang lain. Tak segan-segan lagi aku memakai kata-kata pedas pada istriku. Akhirnya aku memukulnya. Dengan sendirinya piaraanku pun ikut menderita oleh perilakuku ini. Aku tak hanya melalaikan mereka. Cuma Plutolah yang kurasa tak pantas di sakiti. Tapi binatang lain tak segan-segan aku menganiaya mereka. Bahkan si anjing, apabila mereka secara kebetulan atau karena patuh tiba di depan kakiku.


Penyakitku itu kian lama kian parah, alangkah jahatnya alcohol hingga pada akhirnya…akhirnya Pluto sendiri pun yang kini menjadi korban dank arena itu agak lekas tersinggung, Pluto sendiri menjadi korban kejahatanku.


Pada suatu malam tatkala aku pulang dengan sangat mabuk dari salah satu warung minuman dalam kota yang sering aku kunjungi. Bahwa kucing itu menghindari aku, lekas ku tangkap dia. Dalam ketakutannya menghadapi kegusaranku ia membuat luka kecil dengan giginya pada tanganku. Aku segera dikuasai setan. Aku lupa diri. Aku seperti kehilangan diriku yang asli, maka kejahatan yang amat keji, tersebab minuman keras, menggetarkan tiap ototku. Dari kantong kuambil pisau, kupegang binatang sial itu pada kerongkongannya. Dengan perasaan dingin kucongkel matanya sebelah.


Saat keesokan harinya aku siuman dan kesadaranku kembali, aku merasa setengah ngeri dan menyesal atas kejahatanku. Tapi perasaan ini hanya sementara, jiwaku tak bergerak. Sekali lagi aku mabuk, hingga lenyaplah segala penyesalan akan kejahatanku. Sementara itu si kucing berangsur sembuh. Sungguhpun lobang mata yang kopong itu seram nampaknya, namun ia sendiri agaknya tak lagi merasa sakit.


Ia berkeliaran seperti biasanya dalam rumah, tapi apabila dilihatnya aku, dengan sendirinya ia lari ketakutan. Cara hidupku yang dulu belumlah mati sama sekali dalam diriku, hingga kebencian kucing ini masih membuat sedih, tapi perasaan inipun lekas tersisih oleh kekesalan. Dansebagai puncak malapetaka datang sifat ke binatanganku yang mempercepat keruntuhahanku.


Peragaman jiwa ini tak disebut oleh filsafat. Namun aku yakin benar bahwa kebinatangan ini salah satu getar jiwa manusia yang sangat kuat, salahatu kecendrungan atau rasa asli yang tak dapat disimpulkan,yang membentuk watak manusia. Siapa mengira bahwa seseorang bisa berates-ratus kali berbuat jahat atau bodoh,dengan tiada alasan atau kesadaran bahwa hal itu boleh di lakukan? Bukankah kita punyan kecendrungan memperkosa hukum yang tak tertulis, juga lantaran kita tahu bahwa itu adalah hukum?sudah kubilang sudah kubilang bahwa sifat kebinatanganku ini mempercepat keruntuhanku. Hasrat jiwa yang tak terajuk untuk menyiksa diri inilah untuk memperkosa fitrahnya sendiri untuk berbuat dosa karena inginkan dosa, hasrat ini mendorongku meneruskan penganiayaan atas hewan tak bersalah itu dan akhirnya membunuh.


Pada pagi hari kuikatkan tambang dikuduknya, lalu kugantung ia ke ranting pohon, kugantung ia dengan mata air bercucuran, serta hati penuh penyesalan. Kugantung ia oleh karena kutahu bahwa ia berbuat kejahatan-kejahatan besar, hingga sukmaku yang abadi itu kupertaruhkan, bahwa jika hal ini tak mustahil Tuhan yang maha pengasih dan penyayang tak akan dapat mengampuni.


Pada hari terjadinya kekejaman kutadi, malam harinya aku terbangun oleh teriakan yang menyebut kebakaran. Tirai-tirai diranjangku dimakan api. Seluruh rumah menyala-nyala dengan sangat susah, istriku, aku dan bujang dapat menyelamatkan diri dari maut. Kerusakannya sempurna. Seluruh kekayaanku ludes. Sesudahnya aku jatuh pada keputusasaan. Jika kucari hubungan sebab akibat malapetaka ini dan kekejamanku, itu akan membuktikan kelemahan jiwaku. Tapi hendak kusebut serangkaian kenyatan saja, dan aku tak mau membuang suatu mata rantai yang mungkin berarti, sungguhpun tak penting.


Sehari sesudah bencana itu kukujungi puing-puing reruntuhan. Semua telah runtuh. Kecuali satu. Yang satu ini tak amat tebal; berdiri dalam bekas kamar yang kurang lebih ada di tengah-tengah rumah. Pada tembok itu kemarin bersandang ranjangku di bagian kepala. Kapur di situ masih baru, hingga tak sedikit dapat bertahan terhadap api, maka inilah sebabnya tembok itu tak runtuh. Di depannya orang berhimpun berjejalan, dan banyaklah yang dengan teliti dan semangat mengamati bagian tertentu. Kata-kata aneh dan luar biasa serta lain-lain sebagian menimbulkan rasa keingintahuanku. Aku mendekat. Pada permukaan putih itu kulihat ada pahatan seekor kucing besar. Gambar itu sangat detil dan menakjubkan . dan sekitar kuduk binatang itu ada seutas tali.


Aku heran dan ngeri tak terhingga. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Kuingat kucing itu kugantung dalam taman di sebelah rumah. Waktu kebakaran diketahui orang, taman segera penuh oleh manusia. Tentunya ada seorang yang memotong talinya lalu melemparkan mayat kucing itu ke dalam kamarku melalui jendela bermaksud membangunkanku.. karena runtuhnya tembok-tembok lain, maka korban kekejamanku itu tertahan pada tembok kapur yang masih baru. Begitulah gambaran yang kulihat tadi, dibuat oleh kapur panas oleh amoniak dari mayat kucing itu sendiri.


Meskipun uraian tentang peristiwa itu masuk akal bagiku bahkan mungkin pula memuaskan hati nuraniku, namun tak luput meninggalkan kesan mendalam dalam otakku. Tapi tak semuanya benar. Aku hanya sanggup bersedih atas kematian binatang itu. Maka warung-warung kotorlah yang kini lebih sering kukunjungi. Aku pun mencari mata piaraan yang sejenis dan serupa sebagai penggantinya.


Suatu malam, ketika aku duduk dalam pondok yang terkenal buruk, perhatianku sekonyong-konyong tertarik oleh suatu benda hitam yang tertunduk di atas salah satu tempayan jenewer atau tuak yang merupakan perabot terpenting di dalam kamar. Aku telah bermenit-menit memandang ka atas tempayan itu, maka heranlah aku bahwa benda hitam itu adalah kucing. Kuhampiri dan kujamah ia, ia binatang yang cukup besar, mirip Pluto kecuali satu hal, Pluto tak punya rambut putih sehelai pun di badannya, sedagkan di badan kucing iitu belang putih menutupi hampir seluruh bidang dadanya.


Waktu kuraba, ia bangkit mendengkur keras serta menggesek-gesekan kepalanya ke tanganku. Ia agaknya amat senang. Mahluk seperti inilah yang ingin kudapatkan. Aku segera menawarnya dari penjaga warung, tapi ternyata ia bukan pemilik kucing itu. Ia belum pernah melihat kucing itu sebelumnya. Aku terus membelainya dan ketika hendak berkemas mau pulang, hewan itu ingin mengikutiku. Kubiarkan ia begitu, pun sambil jalan sesekali aku membungkuk serta membelainya lagi. Setibanya di rumah ia segera menjadi kesayangan istriku. Akan diriku, aku segera bosan pada binatang itu, dan ini tidak seperti awal harapanku.


Tapi…entah bagaimana dan mengapa….kesukaannya yang terus terang akan diriku itu malahan mengganggu dan memuakkan hati. Sedikit demi sedikit perasaanku mulai terganggu dan kekesalanku memuncak sampai kebencian yang berkobar-kobar. Aku hindari kucing itu, sejenis perasaan malu ditambah kenangan akan kekejamanku dulu mencegahku untuk menganiaya dia. Pecan pertama kujaga agar tak kupukul atau kusakiti, tapi lambat laun, sedikit demi sedikit aku dipenuhi rasa ngeri yang sangat hebat, maka diam-diam kuhindari pertemuan dengannya. Seperti dia punya penyakit menular. Dan yang menambah kebencianku adalah saat aku sadar kucing itu punya satu mata mirip Pluto. Keanehan ini membuat istriku semakin saying padanya. Seperti sudah kusebut, dia ini punya perasaan halus, seperti sifatku yang dulu.


Tapi semakin aku muak padanya, semakin ia mesra padaku. Ia mengikutiku dengan kepatuhan yang sukar dibayangkan. Dimana aku duduk, dia meringkuk di bawah kursiku atau melompat ke pangkuanku. Jika aku bangkit, ia berjalan dekat kakiku atau dia menggaetkan cakarnya panjang tajamnya ke celanaku. Pada saat itu ingin rasanya kubunuh kucing itu dengan satu pukulan, tapi niat itu tidak jadi, sebagian besar karena kenangan atas kejahatanku dulu terutama…hendaknya segera aku akui….aku sangat takut dengan binatang itu.


Takut ini bukan takut pada suatu bencana yang terbentuk, walau sulit bagiku untuk menerangkan dengan cara lain, nyaris aku merasa malu…ya, bahkan dalam sel untuk hukuman mati ini aku merasa malu…. Mengakui bahkan takut dan ngeri yang membangunkan dalam diriku oleh binatang itu kian hebat oleh kemustahilan paling gila yang dapat dipikirkan akal manusia. Lebih dari satu kali saja menghalangi minat pada belang putih yang telah kusebut dan merupakan satu-satunya perbedaan yang nyata, antara binatang ini dan kucing yang sudah kubinasakan. Belang itu, meskipun besar namun pada awalnya kabur belaka. Tapi lambat laun dengan hampir tak kelihatan maka akhirnya belang itu berubah menyerupai garis lingkar, atau begitu yang kusebut hanya dengan menggigil, dan inilah sebab utama mereka kubenci. Momok ini dan ingin kubunuh, andaikata aku berani…. Kobaran itu membayangkan sesuatu yang menakutkan, menyeramkan ialah alat gantungan. O, lambang kengerian maut yang menyedihkan dan melecutkan, lambang hasaban dan ajal.


Tak pernahlah ada manusia yang menderita siksaan seperti aku ini karena hanya seekor binatang tak berakal… yang jenisnya kubunuh dengan acuh… binatang tak berakal saja sudah sanggup menyebabkan aku menderita sampai berlimpah-limpah, aku seorang manusia yang tercipta sanggup menuruti firasat Tuhan. Tak kenal lagi aku dengan kerestuan istirahat. Siang atau malam. Siang hari momok itu tak membiarkanku sendirian sedetikpun. Malamnya aku terjaga sejam demi sejam oleh mimpi-mimpi yang menakutkan, lalu kurasakan napas momok itu melanggar tubuh yang berat, suatu beban lahiriah yang aku tak sanggup menangkisnya….bermukim abadi dalam hatiku.


Tertekan oleh siksaan-siksaan ini, maka lenyaplah sisa-sisa kecil kebaikan budi dalam diriku, Cuma pikiran jahat yang tertinggal dalam diriku, jahat lagi durhaka.


Rasa tak senangku tumbuh menjadi benci terhadap segala hal dari semua umat manusia. Dan oleh letupan-letupan marahku yang tak terkendali ini, serta mencekamku hingga membabi buta. Maka sayanglah yang sering menjadi korban adalah istriku yang sabar dan tak pernah mengeluh itu. Pada suatu hari ia menemaniku untuk mengambil sesuatu buat keperluan rumah tangga, ia masuk ke kolong di bawah rumah tua yang terpaksa kami tinggali karena kami miskin.


Kucing itu mengikuti aku turun tangga sampai aku hamper tergelincir. Hal ini membuat darahku mendidih. Lupa akan ketakutan kanak-kanakku yang sampai kini mencegah tanganku. Aku angkat setangkai kapak. Aku tujukan pukulan pada binatang itu yang tentunya akan mampus seketika jika kena. Tapi pukulan itu ditahan istriku. Peleraian ini membuatku ngamuk lebih dari setan. Maka kusentakkan tanganku dari genggamannya, dan kukubur kapakku dalam kepalanya. Dia jatuh mati tanpa merintih.


Selesai pembunuhan keji ini aku segera menyembunyikan mayat dengan ketetapan hati. Aku sadar bahwa tak mungkin mayat itu kuangkat dari rumah siang atau malam tanpa diketahui tetangga. Kukaji berbagai pertimbangan, sekali itu kupikir hendak mencincangnya lantas membayarnya. Pada saat lain aku ingin menanamnya dalam lantai kolong. Kupikir itu lebih baik.


Membuangnya dalam sumur atau membungkusnya dalam peti, serta memanggulnya seperti barang dagangan dan menyuruh seseorang membawa keluar. Akhirnya, aku dapatkan jalan yang kuanggap paling jitu. Kuputuskan akan menanamnya ke dalam tembok, seperti konon dikerjakan oleh rahib-rahib pada abad pertengahan dengan korban-korban mereka. Untuk keperluan ini, tembok kolong itu sangat baik. Dinding-dindingnya tidak kokoh, pun baru dikapur dengan ramuan kasar yang tak jadi keras oleh kelembaban udara di situ. Kecuali di salah satu dinding ada bagian menjorok, dulu bekas cerobong asap tapi telah ditutup dan kini tak ada beda rupanya dengan tembok biasa. Tak kuragukan lagi, bahwa ditempat ini aku akan dengan mudah dapat mengeluarkan bata-bata, menyodokan mayat itu ke dalam, serta menempelkannya lagi hingga tak seorangpun akan melihat sesuatu yang mencurigakan. Dan perhitunganku tidak keliru. Dengan memakai linggis, dengan mudah kubongkar batu bata itu, maka setelah kusandarkan mayat itu pada tembok sebelah dalam, kutahan ia dengan sikap begitu. sedang tangan lainnya gampang kutekankan kembali susunan batu seperti semula. Setelah kubeli pasir dan kapur dengan hati-hati sekali, kubikin ramuan yang tak beda rupanya dengan yang lama. Maka dengan itu kutemboklah hasil kerjaku dengan teliti. Selesai itu aku merasa puas jitu benar. Tembok itu tak sedikitpun menampakkan pembongkarannya. Sisa-sisa di lantai kubuang sampai rapi kembali. Dengan bangga aku menengok sekeliling sambil berkata: SEKARANG AKHIRNYA SUSAH PAYAHKU TAK SIA-SIA.


Kemudian kucari kucing itu yang telah menjadi penyebab akan bencana ini. Kesudahannya aku berniat hendak membunuhnya. Andaikata dia dapat kutangkap saat itu, tak dapat kuragukan lagi nasibnya. Tapi agaknya binatang cerdik itu telah menjadi hari-hari oleh keganasanku yang hebat tempo hari.


Maka ia tak menampakkan hidungnya lagi dalam keadaan begini. Mustahil dapat digambarkan perasaan nyaman lagi segar yang dibangunkan dalam dadaku oleh hadirnya mahluk terkutuk itu, maka demikianlah, meski untuk satu malam saja sejak ia tak menginjak lantai rumahku, aku tidur nyenyak. Ya, aku tidur sungguh pun dengan beban pembunuhan dalam hati nurani.


Hari kedua dan ketiga berlalu dengan tiada mengantarkan penyiksaku. Sekali ini aku merasa merdeka. Dalam takutnya, si momok telah meninggalkan rumah untuk selama-lamanya. Tak akan kulihat lagi dia. Sempurnalah bahagiaku. Dosaku yang mengerikan itu hanya sedikit menggangguku. Pihak berwajib telah mengajukan beberapa pertanyaan yang dengan mudah kujawab. Bahkan ada pula penggeledahan. Tapi tentu saja tak diketemukan apa-apa. Kunantikan hari depan dengan ketegangan yang sangat. Hari keempat sesudah pembunuhan itu, tiba-tiba munculah polisi, maka mulai lagi pemeriksaan keras di rumah. Karena aku yakin bahwa tempat simpanan tak bakal ditemukan, maka hal ini sama sekali tak mengejutkan hatiku, agen-agen itu memintaku mengantar mereka. Tak ada sudut atau lobang yang tak ditilik mereka. Akhirnya untuk ketiga atau keempat kalinya mereka turun ke kolong bawah tanah. Otot0ototku tak seutaspun tak bergerak. Jantungku berdetak tenang seperti jantung orang tidur. Kulintasi kolong dari ujung ke ujung. Sambil bejalan tenang kian kemari, polisi itu puas benar dan sudah mau berangkat. Kegembiraanku amat kuat sampai tak terkendali. Keinginan melonjak-lonjak untuk untuk mengatakan sepatah kata sebagai alamat kemenanganku, agar lebih-lebih menguatkan lagi keyakinan mereka, bahwa aku tak bersalah.


“Tuan, saya dapat membersihkan diri dari syak wasangka tuan-tuan. Saya ucapkan terima kasih. Tunggu sebentar tuan-tuan. Ini, ya, ini adalah rumah yang kokoh sekali pembuatannya.”kataku saat mereka menaiki tangga.


Keinginanku tak tertahan untuk member kesan bahwa aku sama sekali tidak gelisah, maka itulah sebabnya omonganku tak karuan “Boleh dikatakan pembuatan rumah ini sempurna”.


“Tembok-tembok ini… tuan-tuan sudah mau pergi?. Tembok-tembok ini akan tetap bertahan walaupun ada gempa bumi.” Maka dengan begitu aku terbawa oleh keberanian yang gila. Aku memukul keras dengan tongkat yang kupegang pada bagian temboknya, dimana di belakangnya berdiri mayat istriku yang tercinta. Hendaknya Tuhan melindungi serta menyelamatkan aku dari iblis. Baru saja gema pukulan-pukulan tenggelam dalam kesunyian, maka aku pun dijawab oleh suara-suara kubur…. Oleh jerit yang semula sayup-sayup dan putus-putus…. Seperti tangis seorang anak, lalu cepat melantang jadi teriakan panjang, keras dan tak habis-habis. Bukan seperti suara manusia yang fitri, tapi suara mengaum pekik meratap-ratap, pekik kemenangan yang mengerikan, seperti hanya mungkin terlontar dari neraka, terpaku dari kerongkongan mereka yang terkutuk dan teraniaya. Bersama teriakan iblis-iblis yang gembira atas penderitaan korba-korban mereka.


Tak dapat dilukiskan apa yang kurasakan waktu itu, aku hamper pingsan, aku sempoyongan kea rah tembok di seberangnya. Sesaat lamanya kumpulan agen itu berdiri tak bergerak di atas tangga, terjerat oleh kejut dan kengerian. Saat berikutnya selusin tangan-tangan kuat sibuk membongkar tembok. Aku tergolek di lantai. Mayat yang setengah rusak dan diliputi darah kental itu berdiri tegak di depan penonton-penontonnya. Di atas kepala duduklah kucing yang menjijikan itu, dengan mulut menganga lebar dan matanya menyala-nyala. Dialah yang menyebabkan aku jadi pembunuh, dengan suara khianatnya kini menyerahkan diriku pada algojo. Si momok telah ikut kutembok.














Selesai
READMORE
 

Sebuah Rumah di ARGENTINA


Oleh : Asmi Sastrasuganda
Bandung 1980



TOKOH-TOKOH CERITA

LIONG HENG WAY - Pengusaha
LIONG TEK WAN - Ayahnya
LIONG HENG KONG - Anaknya, kemudian seorang Dokter
NYONYA LIONG - Istrinya
SIM LIANG SHE - Menantunya
LIONG TEK TIN - Cucunya
BENG - Sepupu jauh
SUSANGKA - Sahabatnya, pejuang kemudian veteran
SUNGKAWA - Anak Susangka
DR. JUNAEDI - Sahabatnya
SIE JAN LIM - Tetangganya
TUAN TAN - Tamunya
BEBERAPA PEJUANG
SEORANG SERSAN KOLONIAL BELANDA
BEBERAPA TENTARA KOLONIAL BELANDA
SEORANG MATA-MATA
KOMANDAN DISTRIK MILITER
AJUDANNYA
DUA PENJAGA KEAMANAN
KELUARGA-KELUARGA KETURUNAN TIONGHOA


BABAK I
Pentas menggambarkan ruang duduk (living room) di rumah keluarga kelas menengah Tionghoa terpelajar. Perabotan bergaya Tionghoa, demikian juga hiasan-hiasan pot-pot keramik dll. Terdapat pula foto-foto keluarga dan foto leluhur. Disalahsatu sudut terdapat sebuah kursi yang lebih besar disbanding dengan kursi-kursi lainnya. Kursi ini dipergunakan oleh Liong Tek Wan, anggota tertua di dalam keluarga itu.

Ruangan ini hendaknya memberikan kesan di satu pihak berhubungan dengan ruang lain yang menjadi bagian tengah rumah dan di pihak lain berhubungan dengan serambi atau sedikitnya teras depan rumah.
Ketika layar dibuka atau lampu dinyalakan, tampak Liong Tek Wan yang sudah sangat tua duduk di kursinya, sedang Beng melayaninya dengan meletakkan selimut tebal di atas pangkuan dan kakinya. Sayup-sayup terdengar tembakan. Beng tampak mencoba mendengar lebih jelas, sementara Liong Tek Wan tampak tidak mendengar apa-apa.

Waktu itu kira-kira penghujung tahun 1947 dan peristiwa-peristiwa yang digambarkan terjadi disebuah ibukota kabupaten di Jawa Barat, di zaman pendudukan Tentara Kolonial Belanda. Awal malam.

Adegan 1
Muncul Liong Heng Way

HENG WAY : Papah, mau pindah ke kamar sekarang ?
TEK WAN : Masih sore. Tehnya masih panas.
HENG WAY : Papah, ada serangan lagi.
TEK WAN : Serangan lagi, serangan lagi. Mereka itu mau apa? Tentara Kerajaan Belanda
terlalu kuat. Apa mereka mau lawan meriam dengan senapan berburu ?
HENG WAY : Sebaiknya Papah pindah sekarang.
TEK WAN : Tehnya masih panas. Saya tidak bisa minum teh panas. Saya bisa sariawan.

Biar saja mereka mengadakan serangan. Mereka tidak bisa masuk kota.
Tentara Kerajaan terlalu kuat.

HENG WAY : (Kepada Beng) Beng, kau tidur di sisni saja.
BENG : Saya, Ko Aheng. (tembakan lagi, agak dekat). Mereka semakin berani.
Belum jam malam sudah mengadakan serangan.
HENG WAY : Apakah tehnya masih benar-benar panas?
BENG : Kalau ia mengatakan masih panas ya masih panas walaupun sudah dingin.
HENG WAY : Apa boleh buat. Jangan tinggalkan dia, Beng.
BENG : Saya, Ko Aheng
Adegan 2

Muncul Liong Heng Kong, berusia kira-kira tujuh tahun, membawa buku pelajaran
HENG KONG : Papah, ada serangan lagi
HENG WAY : Ya…, masuklah, temani Mamah.
HENG KONG : Saya masih mau membaca, Papah.
HENG WAY : Membacalah, tapi jangan di ruang tengah.
HENG KONG : Di kamar lampunya kecil, Papah.
HENG WAY : Dekatkanlah bukunya dengan ke lampu. Lampu ruang tengah akan
dipadamkan. Kau mendengar tembakan- tembakan itu, bukan ?
HENG KONG : Ya, Papa
HENG WAY : Masuklah, temani Mamah.
HENG KONG : Ya , Papah. (tembakan mendekat, Heng Kong masuk agak tergesa)
HENG WAY : (Kepada Tek Wan) Papah, mungkin tehnya sudah cukup Dingin.
TEK WAN : Saya bilang masih panas.
BENG : Tembakan itu dekat sekali. Mungkin mereka berhasil memasuki kota.
HENG WAY : Jangan pikirkan itu, Beng. Bujuklah Encek supaya tidur sore-sore
BENG : Saya akan mencoba, Ko Heng.

Adegan 3

Muncul Nyonya Liong

NY. LIONG : Ko Heng, dekat sekali
HENG WAY : Kita harus membujuknya supaya mau segera masuk kamarnya. Kau yang
membujuknya. Biasanya kau berhasil.

NY. LIONG : (Kepada Tek Wan) Papah, hari sudah malam, bagaimana kalau Papah masuk


kamar sekarang?


TEK WAN : Saya belum minum


NY. LIONG : Mari saya lihat tehnya. Memang masih agak panas. Bagaimana kalau Papah


meminumnya di kamar ? (Terdengar tembakan beruntun dan dekat sekali.


Mereka yang semula berdiri terpaksa berjongkok. Heng Kong muncul dan lari


ke pelukan ibunya. Dari kejauhan. Terdengar ketukan dari arah serambi).


NY. LIONG : Ko Aheng, mungkinkah itu Jan Lim ?


HENG WAY : Sebentar (berdiri, mendengar).


TEK WAN : Beng ! Tehnya, Beng ! (Tembakan sayup-sayup)


NY. LIONG : Ko Aheng, jangan dibuka ! (ketukan makin nyaring)


TEK WAN : Beng ! apa kau sudah tuli ? (Beng merangkak, mengambil the di


meja dan menyodorkannya kepada Tek Wan)


HENG WAY : Siapa itu ?


SUARA : Buka cepat ! Kami perlu pertolongan !


NY. LIONG : Jangan buka ! Kita tidak kenal suaranya.


HENG WAY : Saya kenal suara itu. (Meninggalkan ruangan)


TEK WAN : Tehnya sudah dingin. Kenapa saya panggil-panggil kau diam saja, Beng !


Mentang-mentang saya sudah tua.



Adegan 4


Muncul Liong Heng Way memapah Susangka bersama seorang pejuang. Pejuang lain berjalan di belakang.


PEJUANG 1 : Ia minta dibawa ke sini, Tuan Aheng.


PEJUANG 2 : Kami khawatir kalau dia tidak cepat-cepat mendapat perawatan.


HENG WAY : Ayolah, bawa ke ruang tengah. Beng, periksa pintu serambi ! Mamah, siapkan


perban ! (Beng menuju serambi)



Adegan 5


Ruangan kosong sejenak, kecuali Tek Wan yang duduk di kursinya sambil memegang cangkir teh. Muncul Beng dari arah serambi, menuju ruang tengah.


TEK WAN : Beng !


BENG : Saya, Cek.


TEK WAN : Siapa mereka itu ?


BENG : Yang terluka itu pak Susangka. Pemuda-pemuda itu anak buahnya.


TEK WAN : Susangka itu pengacau. Kenapa dibawa masuk ke sini ? Heng Way harus


melapor pada Tentara Kerajaan.


BENG : Astaga ! Tidak mungkin, Cek. Pak Susangka itu sahabat Ko Aheng.


TEK WAN : Sahabat atau bukan, Susangka itu pengacau. Heng Way harus cepat melapor.



Adegan 6


Muncul Heng Way dengan kedua pejuang itu.


PEJUANG 1 : Kami akan menjemputnya secepat keadaan memungkinkan, Tuan Aheng.


HENG WAY : Janganlah kalian memikirkan itu dulu.


PEJUANG 2 : Kalau tidak terlalu berbahaya sebenarnya kami dapat membantu merawatnya


di sini.


HENG WAY : Percayalah kepada kami. Kalian segera meninggalkan kota dan kabarkan pada


yang lain bahwa Pak Susangka sudah ada yang merawat.


PEJUANG 1 : Terimakasih, Tuang Aheng.


HENG WAY : Ayolah. Sebentar lagi jam malam. Kalian akan makin sukar meninggalkan kota.


PEJUANG 2 : Maaf kami sangat menyusahkan, Tuan Aheng, dan sekali lagi, atas nama


kawan-kawan, kami mengucapkan terimakasih (mereka memasuki serambi,


diikuti oleh Heng Way)


HENG WAY : (suaranya) Berhati-hatilah



Adegan 7


Muncul Heng Way, melihat ke lantai, lalu kepada Beng.


HENG WAY : Beng, ambil lap basah. Bersihkan darah itu. (Beng bergegas


pergi. Heng Way memandang kepada Tek Wan). Papah, marilah saya antar ke


kamar.


TEK WAN : Nanti dulu.


HENG WAY : Malam sudah larut, Papah.


TEK WAN : Heng Way, mustinya dia tidak dibawa ke sini. Dia pengacau. Dia berbahaya.


Apa mau kau bilang kalau Tentara Kerajaan tahu dia di sini?


HENG WAY : Dia terluka, Papah.


TEK WAN : Salah dia. Dia lawan Tentara Kerajaan dengan golok. Kau musti laporkan dia


pada Tentara Kerajaan, Heng Way.


HENG WAY : Tidak, Papah.


TEK WAN : (Memandang sejenak kepada Heng Way) Kau tidak bicara begitu kalau saya


sehat dan masih muda.


HENG WAY : Papah tidak perlu bicara begitu. Saya tidak mungkin menyerahkan dia. (muncul


Beng membawa ember dan lap, lalu membersihkan percikan darah di lantai).


TEK WAN : Saya bicara untuk kepentingan kau, anak dan istrimu.


HENG WAY : Saya paham, Papah.


TEK WAN : Kalau paham, kenapa tidak laporkan dia ?


HENG WAY : Tidak mungkin, Papah.


TEK WAN : Kau membahayakan dirimu, anak dan istrimu.


HENG WAY : Kita semua berada dalam bahaya, Papah.


TEK WAN : Kita tidak perlu dalam bahaya. Susangka dan kawan-kawannya berada dalam


bahaya. Itu salah mereka sendiri.


HENG WAY : Susangka berada dalam bahaya, dan saya sahabatnya, Papah


TEK WAN : (Juga kepada dirinya) Seharusnya kau tidak saya ijinkan main-main dengan dia


dulu, waktu kalian masih kecil. Susangka bukan bangsa kita, bukan golongan


kita.


HENG WAY : Papah pernah mengatakan Susangka orang baik. Ketika itu Papah baru saja


habis ngobrol dengan dia tentang Dr. Sun Yat Sen. Papah pasti masih ingat,


empat atau lima tahun yang lalu.


TEK WAN : Dulu dia bukan pengacau.


HENG WAY : Dia bukan pengacau, Papah.


TEK WAN : Kalau bukan pengacau, apa ?


HENG WAY : Papah, seandainya Dr. Sun Yat Sen sekarang ada di sini, beliau tidak akan


menyebut Susangka seorang pengacau.


TEK WAN : Apa hubungannya dia dengan Dr. Sun Yat Sen ? dia tidak akan mengereti


pikiran-pikiran Dr. Sun Yat Sen.


HENG WAY : Papah, susangka berjuang di antaranya diilhami oleh pikiran-pikiran Dr. Sun


Yat Sen. Papah juga tahu Susangka sangat hormat kepada pemimpin itu.


TEK WAN : Tapi dia membahayakan kita.


HENGWAY : Saya tidak dapat mengatasinya, papah. Apalagi sekarang papah sendiri melihat


dia sangat lemah.


TEK WAN : Bagaimana kalau tentara kerajaan Belanda tahu ?


HENG WAY : Tentu saja kita akan berhati-hati, papah.


TEK WAN : (Diam sejenak, kemudian menggerutu) Seharusnya kau membantu tentara


kerajaan Belanda. Kau masih terlalu kecil waktu kita berada di bawah


kekuasaan kerajaan Belanda. Kau tidak tahu betapa baik dan aman hidup


bangsa kita ketika itu. Sejak Jepang dating semua menjadi kacau. Juga


seharusnya membantu tentara kerajaan Belanda.


HENG WAY : Dr. Sun Yat Sen tidak akan sependapat dengan Papah.



Adegan 8


Terdengar bunyi sepatu boot yang berat. Heng Way memandang kepada Beng yang masih membersihkan lantai. Beng mempercepat kerjanya, lalu meninggalkan ruangan. Nyonya Liong muncul, memandang kepada Heng Way.


HENG WAY : (Kepada nyonya Liong) Urus dia, biar saya di sini. (Pintu diketuk, Beng muncul


lagi) Biar saya yang buka Beng.


BENG : Bagaimana kalau Encek dibawa ke kamar sekarang ? (Ketukan lebih nyaring).


HENG WAY : Tunggu sebentar ! (Memandang Tek Wan dengan bimbang, tapi kemudian


bergerak ke arah serambi. Suaranya terdengar).


Silahkan masuk tuan. Selamat malam. (Heng Way muncul diiringkan oleh


tentara kerajkaan Belanda yang berkebangsaan Belanda dan dua orang


prajurit berkebangsaan Indonesia). Silahkan tuan-tuan. Tuan-tuan minum teh


atau kopi?


SERSAN : Terima kasih tuan Liong. Kami tidak lama.


HENG WAY : Tapi tuan-tuan harus minum. Beng buatkan teh, atau tuan mau kopi.


SERSAN : Biar saja tuan Liong, jangan susah-susah, terima kasih.


HENG WAY : Tuan-tuan pasti lelah. Kami ada the panas. Kami dapat membuatnya dengan


cepat. Beng, cepat teh, Beng! (Beng pergi).


SERSAN : Tuan Liong, ada pelopor-pelopor masuk ke dalam kota dan lari ke daerah ini.


HENG WAY : Oh!


SERSAN : Tuan Liong bisa membantu tentara kerajaan menundukkan pelopor-pelopor itu,


Ya?


HENG WAY : Saya repot tuan. Saya cuma bisa urus usaha saya.


SERSAN : (Melihat Tekwan dan memberi hormat). Oh, Oude Heer, selamat malam tuan.


HENG WAY : (Berteriak Nyaring) Beng ! Beng ! Cepat tehnya, Beng ! Pakai gula tehnya,


Tuan ?


SERSAN : (Beng muncul, tapi tidak membawa baki teh) Ya,


HENG WAY : Beng, gulanya, eh tehnya pakai gula. (Beng masuk kembali, lalu muncul


membawa baki) Wah, kebetulan masih ada


biskuitnya. Silahkan, tuan-tuan.


SERSAN : (Duduk dan mengambil minuman, kawan-kawannya tetap berdiri sambil


memegang cangkir teh) Kalau Tuan lihat pelopor, Tuan bisa kasih tahu saya.


Tuan bisa suruh kacung bawa surat dan simpan di bus depan tangsi, ya ?


HENG WAY : (Terdiam sekjenak) Berani sekali kalau Pelopor sampai masuk sini, Tuan.


SERSAN : Sebelum Tentara Kerajaan datang ke sini, tuan Liong tahu siapa yang akan jadi


pelopor, ya ?


HENG WAY : Saya repot, Tuan. Saya kurang memperhatikan. (Suara tembakan sayup-


sayup. Kemudian agak mendekat).


SERSAN : (Bangkit) Saya harus pergi, Tuan Liong.


HENG WAY : Oh……pasti Tuan harus menjaga.


SERSAN : Betul, Tuan Liong. Sekali lagi saya pesan Tuan, hati-hatilah. Pelopor-pelopor


masuk daerah sini. Tuan Liong bisa bantu Tentara Kerajaan. Tentara Kerajaan


akan menghargai Tuan.


HENG WAY : Saya tidak tahu, Tuan. Saya repot, Tuan.


SERSAN : Selamat malam, Tuan Liong. Terimakasih. (Kepada Tek Wan)


Selamat malam, Tuan. (pergi)


HENG WAY : Syukurlah, o..Tuhan !



Adegan 9


HENG WAY : Bagaimana dia ?


NY. LIONG : Sudah agak tenang, Ko Aheng.


HENG WAY : Syukurlah.


TEK WAN : Suruh dia pergi.


HENG WAY : (Tanpa memperdulikanTek Wan, tapi berpaling pada istrinya)


Besok pergilah ke tempat praktek Dokter. Junaedi. Sepagi mungkin. Kalau ada


pasien lain katakanlah bahwa Heng Kong jatuh dan terluka, mungkin harus


dioperasi. Katakanlah begitu. Beng akan menemanimu dan membantu


Dokter Junaedi membawa alat-alat.


NY. LIONG : Mungkinkah dia harus dioperasi ?


HENG WAY : Saya khawatir, ya.


TEK WAN : (Nyaring) Saya mau masuk kamar sekarang !



BABAK II


Pentas tetap. Waktu sore menuju malam. Heng Way duduk disalahsatu kursi sambil menulis di buku. Dokter Junaedi muncul dari ruang dalam, diiringi Beng yang menjinjing tasnya.



Adegan 1


HENG WAY : Baiklah, Dokter, bagaimana keadaannya ?


DOKTER : Semua peluru sudah keluar. Untung tidak ada yang bersarang terlalu dalam.


Kalau ada yang dalam kita terpaksa harus mengambil resiko dan membawanya


ke rumah sakit. Sekarang tidak ada persoalan lagi.


HENG WAY : Syukurlah. Ia sangat beruntung mendapat pertolongan Dokter.


DOKTER : Tidak.


HENG WAY : Tidak ?


DOKTER : Maksud saya, ia beruntung mendapat pertolonganmu, Heng


HENG WAY : (Termenung sejenak) Kita sama-sama sahabatnya, Dokter.


DOKTER : Ya (Diam sejenak) Ah, Heng, kapan kiranya kita dapat main tennis lagi ?


HENG WAY : Saya dengar Belanda memasang meriam di lapangan tennis?


DOKTER : Benar, satu meriam besar di lapangan tennis. Tiga kanon di lapangan depan


pegadaian itu. Semua menghadap ke Timur. (Tertawa pahit) Bukan kita aja


yang tidak punya lapangan karena perang ini, Heng. Anak-anak tidak bisa main


bola karena tiga buah kanon itu. Ah.., janganlah kita membicarakan soal


meriam, Heng. Ngomong-ngomong, anakmu tertarik sekali memperhatikan


pekerjaan saya.


HENG WAY : Katanya ia ingin jadi dokter.


DOKTER : Sungguh ?


HENG WAY : Entahlah, ya. Saya dulu ingin jadi nakhoda, nyatanya sekarang saya jadi


centeng pabrik.


DOKTER : Jangan merendahkan kerjamu, Heng. Berapa banyak orang dapat nafkah dari


pabrikmu itu ? Ah, bisa asyik kalau sudah ngobrol. Saya masih ada janji dengan


pasien lain.


HENG WAY : Beng, antar Tuan Dokter ke jalan. Terimakasih. Selamat jalan, Dokter (Dokter


Junaedi pergi diantar Beng)



Adegan 2


Ny. Liong muncul membawa baki yang berisi teh dan makanan kecil. Ia duduk di kursi dekat suaminya.


HENG WAY : Dokte Junaedi menyampaikan selamat malam padamu.


Bagaimana dia ?


NY. LIONG : Tampaknya sudah sangat baik. Itu kesan saya dari perkataan dokter tadi. Ia


bertanya pada dokter, apakah ia dibolehkan pergi dalam beberapa hari ini.


Tampaknya ia masih meragukan ketulusan kita dalam merawatnya.


HENG WAY : Saya kira bukan begitu, Mam.


NY. LIONG : Mungkin dia takut ?


HENG WAY : Kita semua takut, Mam.


NY. LIONG : Kalau bukan takut dan bukan mau menyusahkan kita, mengapa dia terus


menerus bertanya pada dokter kapan dia boleh pergi ?


HENG WAY : Saya tidak tahu, Mam.


NY. LIONG : Saya dengar kalian bersahabat sejak kecil ?


HENG WAY : Di kota kecil seperti ini sukar orang untuk tidak bersahabat. Di sini Cuma ada


satu lapangan untuk main bola dan main layang-layang. Di sanalah kami


semua bermain-main waktu kanak-kanak. Di sini Cuma ada satu lapangan


tennis. Di sana pula kami main tennis ketika kami masih bujangan.


NY. LIONG : Dan kau, Papah, kau senang sekali bergaul.


HENG WAY : Kalau tidak senang bergaul, bagaimana saya bisa berkenalan denganmu ?


NY. LIONG : Betul juga. Padahal rumah kita berjauhan sekali, bukan ?


HENG WAY : Ngomong-ngomong, saya dengar Heng Kong senang sekali memperhatikan


dokter bekerja


NY. LIONG : Seperti gatal saja tangannya, sampai-sampai saya harus berulang-ulang


mengibaskan tangannya agar tidak mengambil alat-alat dokter.



Adegan 3


Terdengar pintu diketuk. Mereka terkejut dan cemas.


HENG WAY : Biar saya buka. Mungkin Beng. Mungkin pintu terkunci tidak sengaja tadi


(menghilang arahserambi. Terdengar suaranya) Selamat malam Tuan Sie.


Silahkan masuk. (Muncul bersama tetangganya Sie Jan Liemdan seorang


tamu).


JAN LIM : Maaf kami mengganggu malam begini. Selamat malam, Nyonya Liong.


NY. LIONG : Selamat malam. Bagaimana Nyonya Sie ?


JAN LIM : Baik, Nyonya. Terimakasih.


NY. LIONG : Silahkan. Saya mengambil teh dulu


TAMU : Jangan susah-susah, Nyonya.


NY. LIONG : Tidak susah, teh selalu sedia. (Pergi)


HENG WAY : Silahkan duduk.


JAN LIM : Kami cepat-cepat datang supaya tidak keburu jam malam. Ini Tuan Tan datang


dari Karawang. Tuan Tan membawa maksud penting.


HENG WAY : Wah, maksud penting apa ? Saya terkejut juga.


TAMU : Tidak perlu terkejut, Tuan Liong. Persoalannya bisa disebut penting, bisa juga


tidak.


HENG WAY : Syukurlah kalau tidak perlu terkejut.


TAMU : Begini, Tuan Liong. Saya yakin Tuan Liong pun menyadari bahwa keadaan


tidaklah aman, terutama bagi bangsa kita. Kegiatan pengacauan-pengacauan


ini telah membawa korban, diantaranya dari bangsa kita. Tuan Liong pasti


mendengar kekejaman-kekejaman yang diderita bangsa kita di Cilimus Cirebon,


misalnya. Juga banyak di daerah lain. Nah, Tuan Liong, untuk menghindarkan


hal-hal yang tidak diinginkan, kami di beberapa kota pantai Utara membentuk


pasukan penjaga keamanan. Tujuannya tidak lain untuk melindungi jiwa dan


harta bangsa kita.


HENG WAY : Maksud tuan pasukan militer ?


JAN LIM : Betul. Tentara kita. Tentara yang anggotanya bangsa kita !


TAMU : Ya. Setelah pasukan terbentuk, kami mendapat bantuan senjata dari Tentara


Kerajaan. Nah, Kedatangan saya ke sini bertujuan untuk menjajagi


kemungkinan terbentuknya pasukan seperti itu di kota tuan ini. Saya kira, kalau


Tuan Liong yang menganjurkan, masyarakat bangsa kita akan setuju dengan


gagasan ini.


HENG WAY : (dari arah dalam Beng muncul lalu meletakkan cangkir-cangkir teh di atas


meja. Beng pergi lagi) Persoalannya tidak sesederhana itu, Tuan Tan.


JAN LIM : Justru sangat sederhana, Ko Aheng


TAMU : Benar. Saya kira di sini kita dapat membentuk kesatuan yang terdiri dari satu


kompi. Tentara Kerajaan akan merasa senang dan saya yakin tak akan segan-


segan memberikan senjata.


HENG WAY : (Setelah Terdiam) Tapi untuk apa senjata itu ?


TAMU : Untuk melindungi bangsa kita, Tuan Liong.


JAN LIM : Ya Ko Aheng, untuk melindungi keluarga kita.


HENG WAY : Tapi kami di sini tidak merasa terancam, Tuan Tan.


TAMU : Keadaan bisa berubah, Tuan Liong. Di samping itu, apa susahnya kita


memelihara satu kompi pasukan bersenjata ?


HENG WAY : Justru kita di sini akan jadi bingung, Tuan Tan.


JAN LIM : Bingung ?


HENG WAY : Kita akan bingung ke arah mana kita akan menghadapkan moncong-moncong


bedil itu .


TAMU : Tentu terhadap pengacau-pengacau ! Mereka jelas-jelas mengancam harta


dan jiwa bangsa kita.


HENG WAY : Saya rasa di sini tidak ada pengacau-pengacau macam itu, Tuan Tan.


Disamping itu……..


JAN LIM : Disamping itu apa ?


HENG WAY : Bangsa kita akan berada di antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia yang


sedang berhadap-hadapan. Keadaan seperti itu akan lebih membingungkan


saya, padahal sekarangpun kita sudah cukup bingung .


JAN LIM : Bingung bagaimana ?


HENG WAY : Tentu saja saya tidak dapat menjelaskannya, Tuan Sie. Kalau saya dapat


menjelaskannya, berarti saya tidak bingung.


JAN LIM : Ada-ada saja Ko Aheng ini.


HENG WAY : Saya sungguh-sungguh lho.


TAMU : Benar. Saya sungguh-sungguh ingin mendapat pembentukan pasukan itu.


HENG WAY : Saya jadi teringat pada Dr. Sun Yat Sen.


JAN LIM : Apa hubungannya pembicaraan kita dengan Dr. Sun Yat Sen ?


HENG WAY : Saya berusaha membayangkan, sikap apa yang akan beliau ambil kalau


mendapat tawaran seperti saya di dalam keadaan seperti sekarang.


JAN LIM : Ada-ada saj Ko Aheng ini.


HENG WAY : Saya bersungguh-sungguh, Tuan Sie. Dan saya khawatir, Dr. Sun Yat Sen


akan berpihak pada mereka yang Tuan Sie sebut pengacau-pengacau


itu……………..



Adegan 4


Beng Masuk


HENG WAY : Ada apa, Beng ?


BENG : Ada tamu, Ko Aheng


HENG WAY : Mengapa tidak dipersilahkan masuk ?


BENG : Sudah saya persillahkan, tapi mereka mengatakan akan menunggu sampai


tamu-tamu lain menyelesaikan urusan.


TAMU : Sebenarnya urusan kami untuk sementara sudah dapat dianggap selesai. Kami


pun menyadari, tuan Liong tidak mungkin mengambil keputusan secara


tergesa-gesa. Tuan Liiong memerlukan waktu untuk memikirkan usul kami


dengan leluasa.


JAN LIM : Memang, Ini perkara penting, tidak mungkin diputuskan sekarang juga.


TAMU : Benar, kami kira kami tidak usah mengganggu lebih lama lagi.


HENG WAY : Tuan-tuan tidak mengganggu


JAN LIM : Tapi Tuan Tan harus beristirahat. Permisi saja dan terimakasih.


HENG WAY : Kalau begitu saya tidak dapat menahan tuan-tuan lebih lama lagi.


JAN LIM/TAMU : Selamat malam.


HENG WAY : Selamat malam (Mengantar sampai pintu) Beng, Silahkan mereka masuk.



Adegan 5


Beng keluar dan masuk kembali dengan Pejuang 1, Pejuang 2 dan Pejuang 3


PEJUANG 1 : Selamat malam, Tuan Aheng


HENG WAY : Selamat malam, silahkan duduk.


PEJUANG 2 : Kami tidak lama, Tuan Aheng.


HENG WAY : Duduklah


PEJUANG 2 : Tidak usah, Tuan Aheng, terimakasih.


PEJUANG 1 : Dapatkah kami bertemu dengan Pak Susangka ?


HENG WAY : Tentu silahkan. (Pejuang 1 memberi isyarat kepada Pejuang 2) Beng, antar


saudara-saudara ini. (pejuang 1 & 2 masuk, yang lain berjaga-jaga). Silahkan


duduk, saudara-saudara.


PEJUANG 3 : (duduk) bagaimana keadaan dalam kota, Tuan Aheng


HENG WAY : Ya, beginilah. Sampai sekarang kami tidak mendapat kesukaran. Mudah-


mudahan untuk selanjutnya.


PEJUANG 3 : Ya, mudah-mudahan untuk seterusnya.


HENG WAY : Bagaimana kalian sendiri di sana ?


PEJUANG 3 : Kami sendiri tidak terlalu payah. Rakyatlah yang repot, Tuan Heng. Kalau


meriam Belanda membabi-buta, merekalah yang menjadi korban. Ah, kalau


saja kami dapat menghancurkan kanon-kanon yang ada di lapangan


pegadaian itu!



Adegan 6


Muncul Susangka, bertongkat, didampingi oleh Pejuang 1 dan 2.


HENG WAY : Hai, apa-apaan ini ?


SUSANGKA : Saya harus pergi sekarang juga, Heng.


HENG WAY : Apa yang akan dikatakan Dokter Junaedi nanti?


SUSANGKA : Perintah Komandan, Heng. Maafkan, saya telah menjadi bebanmu, dan


terimakasih padamu dan pada istrimu. Katakan pada Heng Kong saya tidak


bisa minta permisi dulu. Dia sudah tidur.


HENG WAY : Saya tidak dapat mengatakan apa-apa, ka.


SUSANGKA : Sampai bertemu lagi, Heng. (Mereka bersalaman dan saling menepuk bahu


masing-masing) Merdeka. (perlahan-lahan)


HENG WAY : (perlahan-lahan) Merdeka. (Para pejuang dan Susangka pergi).


BENG : Sungguh tak terduga-duga


HENG WAY : Sudahlah, Heng. Ambillah teh lagi buat saya.



Adegan 7


Terdengar derap sepatu-sepatu boot. Pintu digedor dengan kasar. Liong Heng Way membuka pintu serambi, Beng muncul dengan poci di baki. Liong Heng Way muncul kembali digiring oleh beberapa Tentara Kerajaan Belanda yang menodongkan bedil kepadanya. Sersan Belanda berjalan di belakang mereka disertai seorang bangsa Indonesia berpakaian preman, yaitu seorang mata-mata Belanda.


SERSAN : Maaf, Tuan Liong, ini bukan urusan pribadi. Kami dapat perintah menggeledah


rumah tuan. Silahkan Tuan Liong berdiri di sana, (Kepada Beng) juga kowe.


(Heng dan Beng berdiri di satu tempat di depan todongan bedil. Prajurit-prajurit


lain memasuki ruangan dalam. Seorang kembali menggiring Ny. Liong, Heng


Kong dan Tek Wan yang tertatih-tatih. Lalu mereka dikumpulkan di satu tempat.


Terdenger barang-barang diporak-porandakan di dalam rumah )


HENG WAY : Tuan tidak perlu membongkar barang-barang. Di rumah ini tidak ada apa-apa.


SERSAN : Kerajaan mau ganti itu barang-barang. Kalau rusak, ya ? (Setelah beberapa


lama, muncullah prajurit-prajurit itu)


PRAJURIT : Sudah, Sersan. Tidak ada apa-apa.


SERSAN : Semua sudah ?


PRAJURIT : Semua kamar dan loteng juga.


SERSAN : Tidak lihat apa-apa ?


PRAJURIT : Tidak.


SERSAN : (Melihat kea rah mata-mata) Tidak ada pelopor, tidak ada senjata. (Mata-mata


diam saja) Nah, Tuan Liong, tidak ada apa-apa. Selamat malam. (Mereka pergi.


Tinggal keluarga Liong yang tercenung). Black out / Layar tutup)




ISTIRAHAT


Diisi dengan lagu-lagu perjuangan dan hymne serta ode Tanah Air


NY. LIONG : …………………………………………………………………………………..


ke sini. Habis Heng Kong praktek, kalian bisa menjemputnya ke sini.


LIANG SHE : Lha saya dengan siapa kalau Tek Wan di sini ?


NY.LIONG : Mengapa tidak bikin sulaman seperti Mamah Besar ?


LIANG SHE : ITertawa) Ah, kalau begitu Mamah Besar yang bikin sulaman, saya dengan Tek


Tin.’Kan sama saja.


HENG WAY : Waktu Heng Kong kecil kau juga tidak bersedia menyerahkan pada neneknya,


Mam.


HENG KONG : Padahal saya rewel betul waktu kecil, ya Mah.


NY. LIONG : Kalau tidak rewel bukan kanak-kanak namanya. Mari kita ambil kue. Mamah


Besar punya kue buat kau, Tek Tin. (Ny. Liong mengambil cucunya dari tangan


Heng Way).


LIANG SHE : (Sambil berjalan) Makannya jelek, Mamah Besar.


NY. LIONG : Harus sabar. Kita harus membujuk-bujuknya. (Kedua wanita menghilang)


HENG WAY : (duduk) Apa pasiennya sudah habis ?


HENG KONG : (duduk) saya cepat-cepat tutup, Papah.


HENG WAY : Mengapa ?


HENG KONG : Papah belum dengar kejadian di Bandung itu ?


HENG WAY : Kejadian apa ?


HENG KONG : Di Koran hari ini dimuat besar-besar !


HENG WAY : Saya belum baca Koran. Saya bermaksud membacanya sebelum tidur.


HENG KONG : O, Papah, Papah ! Papah begitu sibuk dengan pabrik ! Seperti peristiwa


Sepuluh Mei lagi. Hampir semua took di kota tutup !


HENG WAY : Ya Tuhan……rasanya tidak ada pertanda sebelumnya.


HENG KONG : Memang kejadiannya sangat tiba-tiba. Seorang pemuda kita memukul kusir


pedati sampai luka. Kawan-kawan kusir pedati itu menyebarkan berita kejadian


itu. Lalu terjadilah perusakan terhadap took-toko dan kendaraan-kendaraan.


HENG WAY : Ada korban jiwa ?


HENG KONG : Koran-koran tampaknya mengekang diri. Saya membaca koran sore untuk


mendapat gambaran lebih jelas. Tapi justru koran sore memuat lebih sedikit.


Rupanya Pemerintah mencegah pemuatan berita yang lebih terperinci untuk


tidak menyebabkan kekacauan menjalar. Justru koran sore penuh dengan


peringatan dari pihak keamanan dan seruan tokoh-tokoh masyarakat. Korban


sama sekali tidak ada.


HENG WAY : Mungkinkah kekacauan menjalar ke sini ?


HENG KONG : Saya tidak tahu. Tapi kita harus bersiap-siapuntuk yang terburuk. Itulah


sebabnya saya tutup praktek. Saya berangkat ke sini langsung dari tempat


praktek dank e rumah hanya menjemput Tek Tin dan ibunya.


HENG WAY : Syukur kalian datang ke sini. Kalian tidur di sini saja.


HEND KONG : Ya. (Beng masuk dengan makanan kecil dan minuman. Mereka minum. Beng


pergi). Papah, bagaimana dengan usul saya itu?


HENG WAY : Usul apa?


HENG KONG : Kita pindah ke Argentina.


HENG WAY : Papah belum memikirkannya, Heng Kong.


HENG KONG : Saya bersungguh-sungguh, Papah. Kawan sekolah saya sudah dua kali


mengirim surat tentang soal itu. Tenaga seperti saya dibutuhkan di sana.


Keamanan bagi bangsa kita lebih terjamin. Jumlah ras lebih banyak di sana dan


pembaruan lebih longgar. Dalam surat terakhir kawan saya mengatakan bahwa


di sana ada sebuah yang baik dan harganya masuk akal.


HENG WAY : (Diam sejenak) Papah sudah terlalu tua untuk Heng Kong.


HENG KONG : Justru Papah sudah cukup tua untuk mendapatkan ketenangan dan rasa aman.


Saya sudah membuat rencana-rencana. Kerja Papah di sana hanya


bersenang-senang dan bermain-main dengan Tek Tin.


HENG WAY : Bagi Papah, masalahnya tidak sederhana seperti itu, Heng Kong.


HENG KONG : Papah sudah saatnya melepaskan diri dari masalah-masalah. Saya sudah


cukup mampu memberi kesempatan pada Papah dan Mamah untuk beristirahat


dan bersenang-senang.


HENG WAY : (Agak bermain-main) Kau belum kenal Papahmu, Heng Kong


HENG KONG : Saya sudah kenal Papah. Justeru karena saya mengenal Papah saya usul


supaya kita pindah ke Argentina.


HENG WAY : Papah tidak percaya kau benar benar mengenal Papah.


HENG KONG : Papah menginginkan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Papah adalah


seorang tamu yang ingin…………………………




BABAK III


Pentas tetap, dengan beberapa perubahan yang memperlihatkan adanya peningkatan kekayaan pemiliknya. Jam lima sore, hampir tigapuluh tahun kemudian.



Adegan 1


Tampak Liong Heng Way dan istrinya, tiga puluh tahun lebih tua. Liong Heng Way membaca dan memberikan catatan pada sebuah buku, istrinya mengerjakan sesuatu, misalnya menyulam.


HENG WAY : Rasanya sudah dua hari Tek Tin tidak ke sini.


NY. LIONG : Masa ? Kemarin pagi dia ke sini dengan ibunya.


HENG WAY : Saya sedang di pabrik tentu


NY. LIONG : Heng Kong pasti sibuk di tempat praktek. Musim salesma begini biasanya dia


paling repot.


HENG WAY : Rupanya kitalah yang harus pergi ke sana.


NY. LIONG : Yuk. Tapi sebentar lagi, sampai saya menyelesaikan ini sedikit lagi


HENG WAY : Mam, ketika Heng Kong sekolah di Bandung, Papah menyiapkan diri untuk


kehilangan. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Setelah cucu kita lahir nyatanya Heng


Kong jadi lebih dekat kepada kita.


NY. LIONG : Kita sendiri tahu betapa besarnya kasih saying orang tua setelah kita punya


anak, Papah.


HENG WAY : Ya. Marilah kita berangkat sekarang.


NY. LIONG : Yuk.


HENG WAY : Beng ! Beng ! Buka pintu garasi !


NY. LIONG : (Terdengar bunyi sebuah mobil, kemudian berhenti di depan rumah) Ah, itu mereka ! Untung kita belum pergi. (Mereka bangkit, bergegas kea rah pintu)



Adegan 2


Muncul Liong Heng Kong menggendong anaknya, Liong Tek Tin, dan diringkan istrinya, Sim Liang She. Liong Heng Way dan istrinya bergiliran memangku dan mencium cucu mereka.


NY. LIONG : Kami baru mau pergi ke sana. Beng sedang buka pintu garasi.


HENG WAY : (pada cucunya) Mengapa kemarin kau tidak ke sini Tek Tin?


HENG KONG : Sejak kemarin dia mengajak ke sini.


LIANG SHE : Mau ke sini, pasien banyak. Waktu pasien habis dia sudah tidur.


………………………………………jadi pribumi.


HENG WAY : Papah bukan tamu di negeri ini, Heng Kong. Seperti kau juga, Papah lahir di


sini. Daging Papah adalah bagian dari bumi ini, darah Papah adalah bagian dari


air negeri ini.


HENG KONG : Papah berkata begitu. Tapi apakah orang lain senang mendengar perkataan


Papah itu ?


HENG WAY : Tidak Papah sendiri yang berpendapat begitu. Banyak orang-orang keturunan


yang secara jasmani dan rohani sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari


negeri ini. Mereka tidak berbeda dengan kaum pribumi dalam segala hal.


HENG KONG : Baiklah, tapi apakah kaum pribumi setuju dengan Papah ?


HENG WAY : Papah tahu, ada orang pribumi yang sependapat dengan Papah.


HENG KONG : Tapi berapa banyak orang mereka itu ?


HENG WAY : Justru kita harus ikut berusaha agar mereka makin lama makin banyak.


HENG KONG : Itu impian yang terlalu besar, Papah. Mungkin pula impian yang berbahaya.


Kita tidur nyenyak dan bermimpi indah, sementara orang-orang jahat


merencanakan peristiwa-peristiwa seperti Sepuluh Mei.


HENG WAY : Kita menjadi manusia karena kita bermimpi indah, Heng Kong. Yang penting


adalah kita melakukan hal-hal yang nyata untuk mewujudkan impian itu, dan


tidak tinggal diam. Hal-hal yang berada di luar kemampuan kita, kita serahkan


kepada Tuhan.


HENG KONG : Saya paham maksud Papah. Saya merasakan benar, bagaimana Papah


mendorong saya bergaul tanpa pilih bangsa. Saya teringat, bagaimana pada


tiap ulang tahun saya disuruh mengundang juga anak-anak pribumi. Saya


laksanakan itu dan saya sendiri merasa senang. Saya merasa longgar dalam


pergaulan dan saya punya banyak sekali kawan, baik dari kalangan keturunan


maupun dari kalangan pribumi.



Saya juga tahu Papah berusaha dan berhasil bahwa pabrik tidak ada


diskriminasi; tanpa pilih bulu, pribumi atau keturunan. Papah juga selalu


membantu pembangunan-pembangunan lewat dana sosial pabrik. Saya


terkesan oleh bantuan Papah bagi pembangunan masjid di kawedanan. Saya


hargai semua itu. Saya hormat pada Papah tidak semata-mata karena Papah


yang melahirkan saya, akan tetapi karena Papah adalah orang yang bercita-cita


tinggi dan berusaha secara nyata mewujudkan cita-cita Papah itu. Tapi, apakah


mereka mau menghargai cita-cita Papah ? Apakah banyak orang yang


menginginkan impian Papah terwujud ?


HENG WAY : Sedikit demi sedikit, akhirnya orang akan menghargai impian Papah, Heng


Kong. Papah percaya pada akal sehat dan kemurahan hati manusia.


HENG KONG : Namun selagi Papah dengan tekun melaksanakan perwujudan impian itu, masa


bergerak dijalan-jalan, dengan batu-batu, dengan golok. Mereka


menghancurkan, membakar dan bahkan membunuh.


HENG WAY : kau bicara tentang khayalmu, bukan tentang kenyataan, Heng Kong.


HENG KONG : Saya bicara tentang impian saya, Papah.


HENG WAY : Kau lebih suka memilih impian buruk dari pada impian indah.


HENG KONG : Impian buruk dan indah sama saja, Papah. Bedanya ialah impian buruk dapat


menyelamatkan kita, sedang impian indah malah menjerumuskan. Karena


impian buruk itulah, saya mengajak Papah pindah ke Argentina.


HENG WAY : Bagaimana dengan pabrik, Heng Kong. ?


HENG KONG : Papah dapat menjualnya.


HENG WAY : Tidak sesederhana itu, Heng Kong. Papah membangun pabrik itu dengan


segala keprihatinan. Kalaupun Papah meninggalkannya sekarang, kau dapat


memahami perasaan Papah.


HENG KONG : Itulah kelemahan Papah, Papah terlalu memperturutkan perasaan.


HENG WAY : Kau kurang memahami Papah, Heng Kong. Bagi papah, pabrik itu tidak


semata-mata sumber penghasilan.


Justru………………………………………………………………..


Lihat sendiri, bagaimana di pabrik kita pribumi dan keturunan sudah lupa akan


perbedaan-perbedaan yang pernah diadakan, baik oleh prasangka, baik oleh


sejarah.


HENG KONG : Saya sudah menyatakan rasa hormat saya kepada apa yang telah Papah


lakukan. Namun penghargaan saya dan mungkin penghargaan sejumlah kecil


orang lain tidak ada gunanya. Berjuta-juta yang lain bukan saja tidak


memahami, apalagi menghargai; mereka lebih cenderung mencurigai,


membenci dan bahkan memusuhi.


HENG WAY : Papah tidak dapat meninggalkan mereka, Heng Kong. Mereka tidak sekedar


pekerja pabrik. Bagi Papah mereka sudah seperti anak. Kalau Papah pergi ke


Argentina, bagaimana degan pekerja-pekerja keturunan itu ? Papah tidak akan


dapat membiayai mereka untuk pindah ke Argentina.


HENG KONG : Mengapa Papah harus memikirkan mereka segala ?


HENG WAY : Mereka sama dengan kita, Heng Kong. Mereka mungkin bermimpi indah seperti


Papah dan bermimpi buruk seperti kau. Bedanya, kita mampu pindah


kemanapun juga, sedang mereka tidak. Mereka tidak punya ongkos untuk itu.


HENG KONG : Dalam keadaan berbahaya kita berhak menyelamatkan diri dan keluarga kita,


Papah.


HENG WAY : Papah akan merasa jadi seorang penghianat, Heng Kong. Papah mengasuh


mereka, memberi nafkah bagi kehidupan jasmani mereka, memberi impian


indah bagi kehidupan rohani mereka. Kalau Papah pergi, mungkin persoalan


nafkah akan dapat mereka atasi. Yang lebih parah ialah bahwa mereka akan


merasa dikhianati dan kehilangan impian indah itu. Heng Kong, Papah akan


merasa seakan-akan Papah ini seorang nakhoda yang meninggalkan kapal


dengan semua penumpangnya di tengah-tengah topan.


HENG KONG : Sukar bagi saya untuk menerima pikiran Papah.


HENG WAY : Papah maklum. Kau masih terlalu muda. Hanya mereka yang lama bergaul


dengan Papah dapat memahami.


HENG KONG : Adakah orang yang dapat menerima jalan pikiran Papah tanpa sedikitpun


kebimbangan ?


HENG WAY : Ada, Heng Kong.


HENG KONG : Tentu saja bukan Mamah


HENG WAY : ……………………………………………..


HENG KONG : Letnan Kolonel Susangka ?


HENG WAY : Kolonel Pensiun.


HENG KONG : (Setelah sejenak diam) Papah.


HENG WAY : Ya ?


HENG KONG : Tapi Papah tidak akan menghalangi kami pindah ke Argentina, bukan?


HENG WAY : (Tidak segera menjawab) Kau sudah dewasa Heng Kong. Papah tidak dapat


memperlakukanmu sebagai anak-anak. Papah tidak menghalangimu. Yang


Papah minta hanyalah agar kau memikirkan matang-matang.


HENG KONG : Sayapun minta pada Papah, agar usul saya dipertimbangkan matang –matang.



Adegan 3


Pintu diketuk


HENG WAY : Biar Papah yang buka. (Berjalan kea rah serambi, lalu muncul bersama


Susangka dan anaknya, Sungkawa. Susangka seumur dengan Heng Way


sedangkan anaknya seumur dengan Heng kong}. Sudah lama sekali kau tidak


ke sini. Ke mana saja ?


SUSANGKA : Saya bekerja lagi. Di kantor Veteran. Daripada menganggur dan Cuma


menunggu uang pensiun. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang ada


manfaatnya, bukan ?


HENG KONG : Selamat malam, Pak Susangka. (Mengangguk pada Sungkawa). Silahkan


duduk. (Mereka bersalaman. Susangka dan Sungkawa duduk dengan Heng


Kong sementera Heng Way masuk ke ruang tengah).


SUSANGKA : Bagaimana prakteknya, maju ?


HENG KONG : Lumayan, Pak.


SUSANGKA : Bulan Agustus ini musim pancaroba, pasti kau sibuk mengurus yang flu.


HENG KONG : Saya kira begitu, Pak.



Adegan 4


Muncul Heng Way, Ny. Liong, Sim Liang She dan Tek Tin. Beng ikut muncul membawa baki minuman dan makanan kecil.


HENG WAY : Lihat cucu saya ! Tek Tin, salam pada Pak Susangka !


SUSANGKA : (Berdiri dan menyentuh Tek Tin) Waduh, tampan sekali ! Bagaimana rasanya


punya cucu, Nyonya…………………………………………………………………….


NY. LIONG : ………………………………………………………………………….punya anak


lagi. Bedanya sesekali saya hrus bolak balik ke rumah Heng Kong kalau mau


mengurusnya. Ah, silahkan kuenya. Ah, ini anak Pak Susangka itu, ya ?


SUSANGKA : Ya, yang sulung.


NY. LIONG : Sudah kerja atau masih sekolah ?


SUSANGKA : Sudah bekerja, di sini. Kami sudah tua, jadi tidak dapat melepas dia jauh-jauh.


Seperti Nyonya juga, sayapun tidak mau berpisah dengan cucu, kalau mungkin.


Apakah hiburan orang-orang tua seperti kita kecuali berkumpul dengan anak


cucu ?


NY. LIONG : Sudah berapa cucu Pak Susangka ? Kalau Bu Susangka berkunjung ke sini,


bawalah.


SUSANGKA : Baru satu, saya harap tahun depan bertambah dari anak saya yang kedua.


Bulan depan saya ambil menantu lagi.


HENG WAY : Jangan lupa kami diundang.


SUSANGKA : Mana bisa kami lupa ?


NY. LIONG : Jangan diajak ‘ngobrol dulu, silahkan kuenya, Pak Susangka. Silahkan………..


SUSANGKA : Sungkawa.


NY. LIONG : ………ya, Sungkawa, silahkan minum. Kami ke dalam dulu. Silahkan, silahkan.


(Ny. Liong dan Sim Liang She serta Tek Tin pergi)



Adegan 5


Mereka minum dan mencicipi makanan kecil.


SUSANGKA : Sebenarnya kedatangan saya ini bukan hanya karena saya sudah lama tidak


berkunjung saja, Aheng. Saya baru saja dipanggil oleh Dandim dan diajak


bicara mengenai beberapa hal, terutama tentang satu hal. Pasti Aheng sudah


mendengarnya.


HENG WAY : Apakah tentang kejadian di Bandung itu ?


SUSANGKA : Ya.


HENG WAY : Saya mendengarnya dari Heng Kong. Bagaimana sebenarnya kejadiannya ?


SUSANGKA : Tidak begitu jelas. Katanya ada sebuah pedati menyenggol motor yang sedang


diparkir. Pemilik motor itu seorang keturunan. Ia marah dan memukul kusir


pedati. Katanya kusir itu cedera. Kawan-kawan kusir ini menyebarkan berita


pemukulan………………………………………… kira hal itu tidak terlalu penting.


Yang penting bagi kita sekarang ialah bagaimana agar kejadian itu tidak


menjalar ke sini. Itu pila alas an mengapa Dandim memanggil saya. Saya


diminta membantu rencana dan persiapan-persiapan pencegahan. Kami telah


membuat rencana dan persiapan-persiapan pencegahan itu. Perintah-perintah


sudah disampaikan Dandim, demikian pula pesan-pesan. Saya baru saja


menyampaikan pesan dan memberikan penjelasan kepada veteran. Saya


datang ke sini dalam rangka menyampaikan pesan itu dan membicarakan


kemungkinan-kemungkinan usaha pencegahan. Kata Dandim, dalam keadaan


seperti sekarang sebaiknya kita melihat kemungkinan yang paling buruk.


HENG WAY : Dari pihak kami saya kira tak banyak yang dapat dilakukan. Paling-paling


mencegah agar tidak melakukan hal-hal yang memancing kejadian yang tidak


diinginkan.


SUSANGKA : Kalau mungkin sampaikan pesan-pesan kepada keluarga-keluarga keturunan.


HENG WAY : Misalnya ?


SUSANGKA : Misalnya, hendaknya mereka tidak berkeliaran atau bergerombol.


HENG W AY : YA. Kalau ada acara keramaian, tidakkah sebaiknya ditangguhkan ?


SUSANGKA : Ya.


HENG WAY : Saya kira merekapu akan tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak


dilakukan.


SUSANGKA : Tapi buatlah surat yang isinya pesan. Katakan bahwa pesan-pesan itu dapat


dianggap langsung dari Dandim. Jelaskanlah apa yang kita bicarakan


sekarang. Katakan sebaiknya mereka tidak berkeliaran atau bergerombol.


Untuk beberapa hari hendaknya menahan diri agar tidak bepergian dulu.


HENG WAY : Itu dapat segera dilakukan. Akan tetapi tentu harus ada orang yang berkeliaran


ke berbagai arah.


SUSANGKA : Sungkawa dan kawan-kawannya bisa membantu. Justru saya bawa dia kesini


untuk itu. Dapatkah kau buat surat singkat sekarang?


HENG WAY : Bisa. Saya akan menulis kepada lima orang keluarga yang paling berpengaruh,


biar mereka meneruskan pesan-pesan itu. Beng Kong, buatlah lima lembar


surat. Mesin tik di tempatnya. Kertas dan karbon juga di sana. (Heng Kong


pergi).


SUSANGKA : Damdim sendiri sudah melakukan beberapa usaha pencegahan. Sore ini suatu


pertandingan sepak bola dibatalkan. Damdim khawatir massa penonton akan


disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di Kodim


sendiri sudah siap tiga buah kendaraan lapis baja dan sebuah mobil unit. Kalau


sesuatu terjadi, tinggal digerakkan saja. Pasukan dikonsinyir, walaupun tidak


mencolok.


HENG WAY : Syukurlah kalau Pak Dandim sudah mempersiapkan pengamanan.


SUSANGKA : Damdim sudah berbuat secara maksimal. Tapi kita harus selalu siap untuk hal


yang paling buruk. Banyak hal yang tidak dapat kita kendalikan, misalnya


berita-berita sensasional yang biasa dimuat oleh ran-koran got. Damdim tidak


dapat berbuat apa-apa terhadap Koran-koran seperti itu. (Heng Kong muncul


dengan lima amplop dan lima helai surat).


HENG KONG : Ini, Papah.


HENG WAY : Mari say abaca. (Membaca) Bagus. Coba pinjam pulpennya.(menandatangani


kelima surat itu, lalu memberi alamat).


SUSANGKA : (Kepada Sungkawa) Sampaikan pada alamat-alamat itu secepat mungkin.


SUNGKAWA : Baik, Ayah.


HENG WAY : Terimakasih, Sungkawa (Sungkawa pergi)


SUSANGKA : Baru sekarang terfikir, bahwa kita perlu melakukan berbagai hal secara lebih


terencana, hingga kejadian sperti di Bandung itu tidak perlu terjadi.


HENG WAY : Maksudmu ?


SUSANGKA : Sedikitnya di sini kita berusaha agar hubungan pribumi-keturunan lebih akrab


daripada sekarang, hingga pengaruh-pengaruh dari luar, apakah itu dalam


bentuk berita atau kedatangan orang-orang yang tidak diinginkan tidak akan


menimbulkan guncangan-guncangan.


HENG WAY : Sebenarnya suasana kekeluargaan sudah cukup baik di sini.


SUSANGKA : Memang, dan itu diantaranya berkat kerjamu juga.


HENG WAY : Dan usahamu.


SUSANGKA : Mungkin. Tapi terasa sekarang, bahwa kita tidak dapat bekerja sendiri-sendiri


sebagai pribadi. Sekarang hubungan antara satu daerah dengan daerah lain


begitu eratnya, hingga yang terjadi di Bandung dan Jakarta dapat


mempengaruhi kita di sini.


HENG WAY : Saya kira begitu, ada gagasan ?


SUSANGKA : Kita perlu punya organisasi resmi yang bertujuan mempercepat pembauran dan


penyatuan bangsa. Tokoh-tokoh masyarakat pribumi dan keturunan berembuk


secara berkala untuk membicarakan berbagai program, misalnya program


pembangunan ekonomi, yang contohnya dilakukan di pabrikmu. Lalu


pembauran social, melalui kegiatan rekreasi bersama, olah raga bersama,


kesenian bersama dan sebagainya. Kita bisa membicarakan hal itu dengan Pak


Bupati. (Suara tembakan)


HENG WAY : Hey, apa itu ?



Adegan 6


Muncul Ny. Liong, menantunya, cucunya serta Beng


NY. LIONG : Kalian dengar itu ?


HENG WAY : Jangan takut, di sini ada Pak Susangka.


SUSANGKA : Ya, jangan khawatir, silahkan duduk di sini.


NY. LIONG : Biarlah, kami di ruang tengah saja. (Mereka masuk kembali)


SUSANGKA : Heng Kong, apakah mobilmu di luar ?


HENG WAY : Suruh Beng membuka pintu garasi. (Heng Kong pergi. Suara tembakan


beruntun)


SUSANGKA : Saya khawatir itu tembakan peringatan……..(pintu diketuk)



Adegan 7


Sungkawa masuk tergopoh-gopoh. Dua amplop masih di tangannya.


SUNGKAWA :………………………………………………………….


SUSANGKA : Di mana ?


SUNGKAWA : Mereka bergerak dari kota bagian Timur. Beberapa took


terbakar.(Terdengar suara sirine sayup-sayup)


SUSANGKA : Aheng, sebaiknya keluarga-keluarga keturunan yang rumahnya di pinggir jalan


atau tinggal di toko diungsikan ke sini. Saya kira rumah ini paling kuat dan


paling terlindung.


SUNGKAWA : Maaf Tuan Heng, saya baru bisa mengantarkan tiga surat.


HENG WAY : Tidak apa-apa. (Kepada Susangka) Apakah mereka kita panggil sekarang ?


SUSANGKA : Ya, secepat mungkin, Aheng.


HENG WAY : (Keluar) Beng ! Beng ! Heng Kong ! Heng Kong!



Adegan 8


Tinggal Susangka dan Sungkawa


SUSANGKA : Apa yang kau lihat, Wa ?


SUNGKAWA : Tidak jelas. Saya hanya melihat orang-orang berlarian dan berteriak-teriak


ketika saya sampai di perempatan. Batu berterbangan dan api menyala di


sana-sini.


SUSANGKA : Tidakkah kau lihat petugas-petugas keamanan ?


SUSANGKA : Saya melihat beberapa orang. Mereka memberi tembakan peringatan. Tapi


mereka tidak berdaya menghadapi masa sebesar itu.


SUSANGKA : Tidakkah kau lihat mobil lapis baja datang ? Mudah-mudahan Dandim tidak


terlambat.


SUNGKAWA : Tidak, ayah (suara tembak lagi, lebih dekat).


SUSANGKA : Tembakan-tembakan peringatan itu tidak ada gunanya kalau tidak dibarengi


pasukan anti huru hara dan mobil lapis baja.


SUNGKAWA : Mobil lapis baja bisa mereka baker kalau masa itu cukup besar, Ayah.


SUSANGKA : Kita Cuma bisa berdoa, Wa. (Masuk Beng menggiringkan satu keluarga


keturunan dengan anak-anak dan barang-barang mereka. Mereka terus masuk


ke ruang tengah)


SUNGKAWA : Ayah, tidakkah lebih baik kita meninggalkan rumah ini ?


SUSANGKA : Mengapa ?


SUNGKAWA : Ayah juga tahu, di sini bisa berbahaya.


SUSANGKA :…………………………………………………..


SUNGKAWA : Tapi sekarang keadaannya beda, Ayah.


SUSANGKA : Berbeda ? Mengapa ?


SUNGKAWA : Sekarang Ayah menghadapi bahaya secara sia-sia.


SUSANGKA : Sia-sia ? Ayah tidak mengerti, Wa.


SUNGKAWA : Dulu Ayah menghadapi bahaya demi kemerdekaan.


SUSANGKA : Sekarang untuk sejumlah warga Negara yang terancam tanpa kesalahan, Wa.


SUNGKAWA : Yakin benarkah Ayah, bahwa merekamtidak punya kesalahan sama sekali ?


SUSANGKA : (Tertegun untuk beberapa lama) Ayah tak menduga akan mendapat pertanyaan


seperti itu, Wa. Dari kau pula, dan di tengah-tengah keadaan seperti ini.


SUNGKAWA : Mungkin karena Ayah tidak pernah menanyakannya pada diri sendiri. Ayah


mungkin tidak mau menerima kenyataan, bahwa golongan mereka itu kurang


peka terhadap masalah-masalah pribumi, kalaupun tidak dikatakan, bahwa


mereka mencari keuntungan dari kesulitan-kesulitan yang dialami kaum


pribumi. Mereka biasa pamer kekayaan di tengah-tengah kemiskinan kaum


pribumi. Sedang cara mereka mendapatkan kekayaan itu belum tentu jalannya


lurus. Banyak ketahuan mereka merusak moral para pejabat. Mereka


membangun gedung-gedung seperti istana-istana. Istana-istana mereka


dilingkari dinding yang diperkuat dan merek hidup secara ekslusif………


SUSANGKA : Ayah juga punya mata dan telinga, Wa. Apa yang kau katakana mungkin


sebagian benar. Tapi apakah dengan demikian Ayah harus setuju dengan


orang-orang yang melakukan perusakan dan kekerasaan secara melawan


hukum ?


SUNGKAWA : Saya harap, sedikitnya Ayah tidak menantang bahaya bagi mereka yang


kedudukan moralnya meragukan, Ayah.


SUSANGKA : Ayah tidak meragukan kedudukan moral Aheng, Wa. Ayah yakin, kau tidak


memasukan Aheng ke dalam golongan orang yang kau bicarakan tadi.


SUNGKAWA : Memang, tapi bagaimana dengan yang lain ?


SUSANGKA : ……………………………………………………………………………………..


Tapi apakah dengan demikian Ayah berhak menyamaratakan mereka semua


sebagai jahat ? Apakah dengan demikian Ayah boleh membiarkan mereka


dihakimi oleh masa secara tidak syah dan melawan hukum ?


SUNGKAWA : Ayah masih tetap seorang yang berfikir muluk-muluk.


SUSANGKA : Tanpa pikiran muluk-muluk sampai sekarang kita belum merdeka, Wa.


SUNGKAWA : Tapi janganlah Ayah samakan pikiran tentang kemerdekaan………..(tembakan


dan teriakan mendekat)



Adegan 9


Heng Way muncul diikuti oleh beberapa keluarga keturunan. Diantara mereka terdapat bayi-bayi, orang sakit, kakek-kakek jompo, nenek-nenek dan anak-anak. Diantara mereka ada yang menangis, ada pula yang berdoa. Sungkawa memperhatikan dan tampak terharu.


SUSANGKA : Saudara-saudara, tenanglah, dan marilah kita berdoa.


HENG WAY : Hanya yang terdekat dapat dipanggil ke sini. Mudah-mudahan yang


lain……..(Terdengar teriakan-teriakan dan lemparan benda keras mulai


mengenai rumah).


SUSANGKA : Tenanglah, mari kita berdoa. Wa, tutup jendela-jendela, dan palang !


(Sungkawa dan Heng Kong dengan sigap berlari kea rah serambi)


HENG WAY : Bagaimana kalau lampu dipadamkan saja ?


SUSANGKA : Kita akan memadamkannya kalau perlu. (Terdengar teriakan-teriakan semakin


gaduh. Gempuran benda-benda keras semakin gencar. Beberapa batu


menerobos memasuki ruangan mengiringi suara kaca pecah. Jeritan kena


terdengar).


HENG WAY : Sebaiknya kita padamkan lampu ! (Bergerak kea rah stop kontak. Susangka


bergerak ke arah serambi). Susangka, ke mana? (Susangka menghilang)


SUNGKAWA : (Mengejar) Ayah ! (Heng Kong mengejar tapi ditahan oleh Heng Way)


SUSANGKA : (Suaranya) Saudara-saudara, berhentilah ! Lihat…………………………………


ta saudara-saudara mempergunakan akal sehat, saudara-saudara akan


menyesali apa yang saudara-saudara lakukan sekarang. Hentikanlah tindakan


saudara-saudara sebelum terlanjur ! (Gempuran berhenti sama sekali). Saya


tahu, saudara-saudara punya alas an untuk marah. Akan tetapi sayapun tahu


bahwa saudara-saudara punya cukup akal sehat untuk bertindak bijaksana.


Sekarang kembalilah ke rumah masing-masing dengan tenang. Serahkanlah


persoalannya kepada yang berwajib ! (Hening untuk beberapa lama. Kemudian


terdengarlah teriakan “GEMPUR !” Terdengar lemparan batu. Satu, dua, tiga


dan bersamaan dengan teriakan-teriakan, hujan batu mulai lagi. Cahaya api


mulai tampak dari arah serambi. Orang-orang dalam ruangan menjerit-jerit dan


berpelukan. Kemudian terdengar sirine, disusul tembakan-tembakan


peringatan)


HENG WAY : Pasukan keamanan datang ! Pasukan keamanan datang ! Syukurlah, ya


Tuhan ! Diagungkanlah namaMu !


ORANG-ORANG : Amin !



Adegan 10


Keributan berhenti. Asap mengepul dari arah serambi. Bunyi sirine menjauh. Keadaan menjadi tenang. Muncul Sungkawa memapah Susangka yang berlumuran darah. Dua orang Penjaga Keamanan membantu.


HENG WAY : Heng Kong ! Pak Susangka, Heng Kong ! (Heng Kong segera bergerak kea rah


Susangka)


PJ. KEAMANAN 1 : Kita harus segera membawanya ke dokter !


HENG WAY : Di sini ada dokter ! (Mereka memapah dan akhirnya menggotong Susangka ke


ruang tengah, sementara keluarga-keluarga keturunan memandangnya).


PJ. KEAMANAN 1 : (Muncul dengan Pj. Keamanan 2) Saya khawatir lukanya parah . (Muncul Heng


Way, menyalakan lampu hingga ruang menjadi lebih terang).


HENG WAY : (Kepada keluarga-keluarga keturunan) Marilah kita berdoa bagi keselamatan


Tuan Susangka. (Mereka berlutut menghadap ke pintu ruang tengah).


PJ. KEAMANAN 1 : Dia menahan masa seorang diri sebelum kita datang……………………………


seperti yang diperempatan itu. Tapi saya khawatir, luka-lukanya tampak parah.


(Terdengar derum mobil dan berhenti di depan rumah).



Adegan 11


Muncul Komandan Distrik Militer (DANDIM) dengan ajudannya. Kedua penjaga keamanan memberi hormat. Heng Way menyambut.


HENG WAY : Ah, betapa lega hati kami mendapat kunjungan Pak Dandim.


DANDIM : Syukurlah, kerusakan di sini tidak separarah yang saya duga semula. Saya


benar-benar khawatir ketika masa bergerak ke sini. Saya terpaksa membagi


anak-anak dan mengurangi penjagaan di pabrik Tuan Heng.


HENG WAY : Jadi Pak Dandim mengerahkan pasukan untuk menjaga pabrik kami ?


DANDIM : Tuan Heng juga tahu, kalau pabrik itu sampai dibakar, berapa ratus buruh dan keluarganya yang terlantar, bukan ?


HENG WAY : Pak Dandim, silahkan kalau mau menjenguk.


DANDIM : Menjenguk siapa?


HENG WAY : Pak Susangka terluka ketika mencoba menahan masa.


DANDIM : Ya Tuhan ! (bergegas masuk ruangan diiringkan ajudan dan Heng Way)



Adegan 12


Muncul Beng membawa minum bagi Penjaga Keamanan


PJ. KEAMANAN 1 : Jangan susah-susah, kami akan segera pergi.


BENG : Minum dululah, silahkan. (kedua Penjaga Keamanan minum) Bagaimana keadaan di kota, Pak ?


PJ. KEAMANAN I : Menurut penilaian sementara tidak terlalu parah. Pak Damdim sejak kemarin


dan sepanjang malam telah mempersiapkan pengamanan-pengamanan, di


antaranya dibantu oleh Pak Susangka. Itulah sebabnya kerusakan sangat kecil


di sini. Berbeda dengan di kota-kota lain.


BENG : Bagaimana dengan korban, apakah banyak korban yang jatuh?


PJ KEAMANAN : Beberapa rumah terbakar atau rusak besar. Beberapa buah kendaraan dibakar


dan dirusak. Sejauh pengamatan saya, tidak ada korban jiwa.


BENG : Ya


PJ KEAMANAN : Bukan. Saya dari luar kota. Tapi sejak kemarin sore dipanggil di Pak Dandim


untuk berada di sini. Semua anggota ABRI dari luar kota sekarang berada di


sini.


BENG : Syukurlah


PJ KEAMANAN : Bahkan saya dengar Pak Dandim minta bantuan kavaleri dari Bandung


BENG : Syukurlah



Adegan 13


Muncul Dandim dan Heng Way


DANDIM : Bagi saya Pak Susangka sudah seperti ayah sendiri. Di zaman perang


kemerdekaan ia komandan saya. Setelah pension dialah yang sering saya


minta nasihatnya.


HENG WAY : Sayapun mengenalnya dengan baik, Pak Dandim.


DANDIM : Baiklah, saya masih harus mengontrol tugas anak-anak. Mulai malam ini


diadakan jam malam, sejak jam delapan. (Kepada keluarga-keluarga) Saya kira


saudara-saudara sudah dapat pulang ke rumah masing-masing. Jangan takut,


penjagaan cukup baik. Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa lagi. Penghasut-


penghasutnya sudah kami tangkap.


HENG WAY : Terimakasih atas kunjungan Pak Dandim. Ini sungguh-sungguh melegakan.


DANDIM : Saya akan segera menjenguk Pak Susangka kembali. (berjalan kea rah


serambi dengan Heng Way). Ah, kalau bukan Pak Susangka, saya tidak akan


percaya dengan apa yang dilakukannya. Baiklah. Selamat malam, Tuan Heng,


selamat malam saudara-saudara. (Pergi. Keluarga-keluarga meninggalkan


ruangan setelah mengucapkan terimakasih kepada Heng Way, Ny. Liong dan


menantunya yang melepas mereka).



Adegan 14


Muncul Heng Kong dan Sungkawa


SUNGKAWA : Bajingan ! Mereka hampir membunuh Ayah !


HENG KONG : (Memegang pundak Sungkawa) Sudahlah saudara Sungkawa, semua sudah


berlalu sekarang…………………………………………………..an ke sini.


SUNGKAWA : (Memegang tangan Heng Kong) Saya tak tahu bagaimana saya harus


mengucapkan terimakasih saya kepada dokter.


HENG WAY : Justru saya tidak tahu, siapa sebenarnya yang harus mengucapkan


terimakasih, saudara kepada saya atau saya kepada saudara sebagai putra


Pak Susangka.


HENG WAY : Jam malam sudah dberlakukan. Saya khawatir Rumah Sakit akan


memerlukanmu malam ini. Apakah Pak Susangka dapat kau tinggalkan ?


HENG KONG : Justru saya sedang berfikir apakah saya pergi ke Rumah Sakit sekarang dan


mengirim ambulance ke sini.


HENG WAY : Jam malam sudah diberlakukan, kita harus mencari penjaga keamanan yang


dapat mengantarmu. Beng ! Beng !



Adegan 15


Muncul Beng.


HENG WAY : Coba lihat, apakah ada penjaga keamanan di depan. Kalau ada ia dapat mengantar Heng Kong ke rumah Sakit.


BENG : Saya, Ko Aheng. (Pergi kea rah serambi, sementara itu terdengar bunyi telepon dari ruang tengah)



Adegan 16


LIANG SHE : Telepon dari Rumah Sakit.(Heng Kong masuk)


HENG WAY : Sebaiknya U Susangka dijemput.


SUNGKAWA : Memang sebaiknya dijemput.


HENG WAY : Bagus.


SUNGKAWA : Tuan Heng, terimakasih atas segalanya.


HENG WAY : Kau tidak usah berkata begitu. Kau tidak akan bicara begitu kalau kau tahu


hubungan saya dengan ayahmu


SUNGKAWA : Saya melihat, betapa akrab hubungan Ayah dengan keluarga Tuan Heng.


HENG WAY : Kami sudah seperti keluarga sejak kami muda sekali, Sungkawa. Kau adalah


keluarga kami juga.



Adegan 17


Muncul Heng Kong, istri dan anaknya.


HENG KONG : ……………………………………….ambulance akan segera datang………….
READMORE